Oleh: Riza Mirza*
Pemuda hari ini hidup di masa yang belum pernah dialami generasi sebelumnya. Informasi tidak lagi dimonopoli oleh media besar. Setiap orang dapat menjadi penyampai kabar, perekam peristiwa, dan pembentuk opini publik hanya dengan ponsel di tangan. Fenomena ini menjadikan kita sebagai bagian dari ekosistem jurnalisme warga: sebuah ruang baru di mana masyarakat ikut menjaga arus informasi.
Teknologi digital mengubah cara berita lahir dan menyebar. Media sosial seperti X, Instagram, dan TikTok menjadi saluran utama penyebaran kabar. Berdasarkan laporan Digital News Report 2024 oleh Reuters Institute for the Study of Journalism, lebih dari 56 persen pengguna internet di Asia Tenggara mengakses berita melalui media sosial, bukan melalui situs berita resmi. Artinya, peran jurnalis warga semakin besar dalam membentuk opini publik.
Namun, perubahan ini menghadirkan dua sisi yang harus kita sadari. Di satu sisi, kita memiliki peluang besar untuk menyuarakan kebenaran, memperkuat literasi masyarakat, dan menumbuhkan kepedulian sosial. Di sisi lain, ruang digital juga membuka peluang penyebaran hoaks, ujaran kebencian, serta manipulasi data yang dapat merusak tatanan sosial.
Studi MDPI (2024) mencatat bahwa lebih dari 70 persen organisasi berita dunia telah mengadopsi kecerdasan buatan (AI) untuk membantu menulis naskah, menganalisis data, atau memilih topik berita yang relevan bagi pembaca. Teknologi ini memang efisien. Namun, banyak peneliti memperingatkan risiko etika dan akurasi. Sebuah publikasi di arXiv (2025) menyebut sebagian besar jurnalis profesional khawatir AI akan memperburuk disinformasi karena kemampuan mesin meniru gaya bahasa manusia.
Kondisi ini menuntut kita sebagai pemuda beriman untuk menjadi filter moral di tengah derasnya arus data. Kebenaran tidak cukup dijaga dengan algoritma. Ia perlu dijaga oleh manusia yang beriman, yang memahami bahwa setiap informasi membawa dampak sosial. Jurnalis warga beriman bukan sekadar perekam peristiwa, tetapi penjaga nilai dan nurani di ruang publik digital.
Peran iman dalam jurnalisme warga sangat penting. Iman menumbuhkan kehati-hatian dan rasa tanggung jawab. Ketika seseorang beriman, ia tidak akan mengunggah konten tanpa verifikasi. Ia memahami bahwa fitnah dan manipulasi bukan hanya melukai individu, tetapi juga mencederai keadaban publik. Iman juga menuntun kita untuk memandang berita bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai amanah yang harus disampaikan dengan niat baik.
Penelitian Jurnal Educatio Religia (2024) menegaskan bahwa keterlibatan pemuda dalam jurnalisme warga meningkatkan empati sosial dan kesadaran kewargaan. Dengan berpartisipasi aktif dalam produksi informasi yang akurat, pemuda beriman membantu menjaga keutuhan masyarakat. Artinya, jurnalisme warga yang berbasis iman bukan sekadar aktivitas digital, tetapi bagian dari tanggung jawab moral terhadap bangsa dan sesama manusia.
Namun, tantangan utama tetap besar. Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta (2023) menunjukkan bahwa hanya 33,7 persen siswa yang mampu menerapkan literasi digital secara kritis dalam kehidupan sehari-hari. Angka ini menunjukkan masih lemahnya kemampuan generasi muda dalam menilai validitas sumber. Banyak yang membagikan konten tanpa memahami konteks atau dampaknya. Tanpa iman, ruang digital mudah berubah menjadi tempat penyebaran kebohongan yang membahayakan masyarakat.
Selain itu, masyarakat kini juga menunjukkan tanda-tanda krisis kepercayaan terhadap media. Reuters Institute (2024) mencatat bahwa publik semakin curiga terhadap berita yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan tanpa pengawasan manusia. Sebagian besar responden global menilai berita yang disusun AI cenderung tidak transparan dan kurang empati. Situasi ini membuka peluang besar bagi kita untuk mengembalikan kepercayaan publik melalui praktik jurnalisme warga yang jujur, etis, dan berbasis nilai.
Untuk menjadi jurnalis warga beriman, kita tidak memerlukan gelar formal dalam komunikasi. Yang dibutuhkan adalah disiplin moral, rasa ingin tahu, dan kesadaran spiritual. Kita perlu belajar memverifikasi data, memahami konteks, dan menulis dengan kejujuran. Setiap unggahan kita adalah pernyataan publik, bukan sekadar ekspresi pribadi. Karena itu, jaga keotentikan dan hindari meniru gaya sensasional yang hanya mengejar perhatian.
Gunakan teknologi untuk memperluas kebaikan. Kita dapat memanfaatkan AI untuk mengolah data, menganalisis isu sosial, atau membantu pembuatan konten edukatif. Tetapi pastikan setiap langkah dilandasi niat dakwah dan tanggung jawab sosial. Kecerdasan buatan hanyalah alat. Ia tidak memiliki hati, tidak memiliki rasa takut kepada Tuhan. Di sinilah iman mengambil peran penting.
Di tengah kebisingan digital, pemuda beriman harus tampil sebagai penyejuk. Kita bisa menulis tentang kepedulian sosial, mengangkat isu kemanusiaan, dan mengedukasi publik agar tidak terjebak pada polarisasi. Kita dapat menjadi jembatan antara dunia teknologi dan nilai-nilai moral. Kita menunjukkan bahwa modernitas tidak bertentangan dengan keimanan, justru memperkuatnya bila dikelola dengan bijak.
Menjadi jurnalis warga beriman di era digital dan kecerdasan buatan berarti menjadi penjaga kebenaran di tengah algoritma yang sering kali buta nilai. Tugas kita bukan untuk menjadi viral, melainkan untuk menjaga agar ruang publik tetap jernih dan beradab. Di masa depan, kecerdasan buatan mungkin akan menulis ribuan berita setiap detik. Tetapi kebenaran tetap membutuhkan manusia beriman yang berani berkata benar, walau tidak populer.
*Dosen Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe & Pemimpin Redaksi Notula News.
