Indeks
Opini  

Mengenal Komunikasi Damai: Membangun Keharmonisan di Tengah Perbedaan

Oleh: Kamaruddin Hasan*


Komunikasi merupakan jantung kehidupan sosial manusia. Melalui komunikasi, manusia dapat saling memahami, berinteraksi, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Namun, komunikasi juga dapat menjadi sumber konflik apabila dilakukan tanpa kesadaran, empati, dan penghormatan terhadap perbedaan. Dalam konteks inilah muncul konsep komunikasi damai (peace communication), yaitu pendekatan komunikasi yang menekankan nilai-nilai perdamaian, empati, keadilan, serta penghargaan terhadap martabat manusia.

Komunikasi damai bukan hanya sekadar berbicara tanpa konflik, tetapi merupakan upaya aktif untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan membangun jembatan di tengah perbedaan pandangan, kepentingan, dan identitas. Di era digital saat ini, ketika arus informasi begitu cepat dan polarisasi sosial semakin tajam, komunikasi damai menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat, terutama dalam ruang publik dan media sosial.

Konsep dan makna komunikasi damai dalam Islam melalui Alquran dan Hadist merupakan konsep yang menekankan pentingnya penggunaan kata-kata, memberikan pedoman tentang cara berbicara yang baik, sikap, dan perilaku yang membangun kedamaian, menghindari fitnah dan gibah, serta pentingnya memaafkan, bersikap adil dalam berkomunikasi, kebijaksanaan, kelembutan, kesabaran dan menghindari konflik. Dalam Islam, komunikasi tidak hanya dilihat sebagai alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga sebagai sarana mempererat hubungan antar manusia dan membangun perdamaian. Prinsip komunikasi damai ini, dapat membangun masyarakat yang harmonis dan saling menghormati.

Dalam pandangan Johan Galtung (1996), tokoh perdamaian dunia asal Norwegia, perdamaian tidak hanya berarti ketiadaan kekerasan fisik atau negative peace, tetapi juga mencakup keadilan sosial, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta terciptanya hubungan sosial yang saling menghargai atau positive peace.

Dari perspektif ini, komunikasi damai dapat dimaknai sebagai praktik komunikasi yang menghindari kekerasan simbolik, ujaran kebencian, dan manipulasi informasi, serta mengedepankan dialog yang empatik, terbuka, dan berorientasi pada solusi.

Dalam konteks komunikasi, hal ini sejalan dengan teori komunikasi dialogis yang dikemukakan oleh Paulo Freire (1970). Freire menekankan pentingnya dialog sebagai sarana pembebasan manusia, di mana komunikasi bukan alat dominasi, melainkan wahana untuk saling belajar, saling memahami, dan membangun kesadaran kritis.

Sementara itu, menurut Littlejohn dan Foss (2011), komunikasi damai melibatkan tiga unsur utama yaitu empati, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain. Respek, yakni penghormatan terhadap pandangan dan identitas pihak lain. Dialog, yaitu pertukaran makna yang terbuka dan jujur tanpa saling menjatuhkan.

Komunikasi damai menuntut kesadaran etis dan emosional yang tinggi. Ia bukan hanya soal teknik berbicara, tetapi soal sikap dan nilai yang hidup dalam diri komunikator.

Dalam konteks sosial dan politik misalnya komunikasi damai; berperan penting dalam membangun stabilitas dan keadaban publik. Di negara yang plural seperti Indonesia, perbedaan agama, suku, dan pandangan politik sering kali menjadi sumber ketegangan. Jika tidak dikelola dengan bijak, perbedaan tersebut dapat melahirkan konflik terbuka.

Komunikasi damai menjadi fondasi penting dalam mengelola perbedaan ini. Dalam konteks komunikasi politik, mislanya, partai-partai dan elite politik perlu menanamkan budaya komunikasi damai melalui bahasa politik yang santun, menghindari provokasi, serta mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok. Komunikasi semacam ini tidak hanya menurunkan eskalasi konflik, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik.

Dalam konteks masyarakat sipil, komunikasi damai dapat diwujudkan melalui kegiatan dialog lintas agama, kampanye toleransi di media sosial, hingga pendidikan perdamaian di sekolah-sekolah, pesanteran, perguruan tinggi, dan lainnya. Semuanya bertujuan menanamkan nilai bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan yang memperkaya kehidupan bersama.

Konteks komunikasi damai di era digital, bahwa transformasi digital membawa tantangan baru dalam praktik komunikasi damai. Media sosial yang semula dimaksudkan sebagai ruang berbagi ide dan informasi, kini sering kali menjadi arena konflik simbolik, penyebaran hoaks, dan ujaran kebencian. Menurut survei We Are Social (2024), lebih dari 70% pengguna internet di Indonesia aktif di media sosial setiap hari, dan sebagian besar interaksi daring masih diwarnai sentimen negatif.

Dalam konteks ini, praktik komunikasi damai menjadi semakin relevan. Pengguna media digital perlu mengembangkan literasi digital damai, yaitu kemampuan untuk menggunakan media secara etis, bijak, dan berorientasi pada harmoni sosial. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa langkah, antara lain; menghindari penyebaran informasi yang belum terverifikasi. Menggunakan bahasa positif, menghargai perbedaan pendapat tanpa menyerang pribadi dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya empati digital. Komunikasi damai di ruang digital menjadi bentuk nyata dari tanggung jawab sosial pengguna media dalam menjaga peradaban digital yang sehat.

Dimensi kearifan lokal dalam komunikasi damai; Indonesia memiliki kekayaan budaya dan kearifan lokal yang mendukung praktik komunikasi damai. Misalnya, di Aceh dikenal nilai Peumulia Jamee Adat Geutanyoe (memuliakan tamu adalah adat kita), yang mengajarkan penghargaan terhadap sesama. Di Jawa, filosofi tepa selira menanamkan pentingnya empati dan toleransi. Di Minangkabau ada pepatah bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat yang menekankan pentingnya musyawarah dalam menyelesaikan perbedaan.

Nilai-nilai tersebut merupakan modal sosial yang sangat penting untuk membangun komunikasi damai di tingkat lokal maupun nasional. Mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam praktik komunikasi modern dapat memperkuat identitas bangsa sekaligus memperkokoh kohesi sosial di tengah globalisasi yang sering kali menimbulkan disrupsi nilai.

Komunikasi damai menjadi paradigma komunikasi yang menempatkan nilai kemanusiaan, empati, dan keadilan sebagai pusat interaksi. Ia tidak hanya penting dalam penyelesaian konflik, tetapi juga dalam membangun masyarakat yang adil, inklusif, dan beradab.

Di tengah tantangan era digital dan meningkatnya polarisasi sosial, komunikasi damai menjadi kebutuhan mendasar yang harus diajarkan, dipraktikkan, dan dilembagakan dalam berbagai sektor kehidupan  mulai dari keluarga, pendidikan, politik, hingga media massa.

Melalui komunikasi damai, kita belajar untuk tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengarkan; tidak hanya menang, tetapi juga memahami. Sebab, sejatinya, damai bukanlah ketiadaan perbedaan, melainkan kemampuan untuk hidup harmonis di tengah keberagaman.


*Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Malikussaleh

Exit mobile version