Indeks
Opini  

Monumen Pase Terlantar: Warisan Sejarah atau Proyek Gagal?

Oleh: T. Hasansyah


Sebuah tonggak sejarah kejayaan Kerajaan Malikussaleh yang pernah memimpin tanah Pasai kini justru berubah menjadi bangunan tua yang terbengkalai. Monumen Pase, yang seharusnya menjadi pusat kebanggaan budaya dan sejarah Aceh Utara, malah seperti dibiarkan begitu saja. Tak difungsikan. Tak dipedulikan. Padahal, kasus korupsi yang sempat menghambat proyek ini sudah tuntas dan inkrah.

Pembangunan monumen ini dibiayai melalui APBN sejak 2012 hingga 2019, dan berdiri di atas lahan milik Pemda Aceh Utara. Sayangnya, hasilnya hari ini sungguh memprihatinkan. Seluruh fasilitas dan ruang-ruang seni hancur perlahan karena ditinggalkan begitu saja. Tidak ada penyelesaian pembangunan hingga tuntas 100 persen.

Kerugian dari ketidakpedulian ini tidak main-main. Masyarakat Aceh, khususnya Aceh Utara, jadi pihak yang paling dirugikan. Dana yang sudah dikucurkan mencapai Rp49 miliar. Coba bayangkan, jika dana sebesar itu dialokasikan untuk membangun bendungan irigasi teknis, hasilnya bisa jauh lebih terasa—sekitar 8.000 hektare lahan pertanian bisa digarap maksimal, dengan potensi panen hingga 13 ton gabah per hektare per tahun.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang peduli lagi pada kelanjutan pembangunan Monumen Islam Kerajaan Pasai ini. Sejak 2021, dua Penjabat Bupati Aceh Utara dan tiga Penjabat Gubernur Aceh silih berganti, namun tak satu pun mengalokasikan anggaran untuk melanjutkan proyek ini. Ironis. Miris. Apakah para pemikir dan penggagas program “Aceh Maju” sudah tidak lagi menganggap pelestarian budaya sebagai hal penting?

Saya, T. Hasansyah, sebagai warga Aceh Utara, menitipkan harapan kepada pemerintah daerah. Monumen Pase jangan dibiarkan menjadi simbol kegagalan. Lanjutkan pembangunannya. Manfaatkan potensi wisata sejarah dan religi yang dimilikinya. Bila difungsikan dengan baik, monumen ini tak hanya jadi sumber edukasi dan kebanggaan budaya, tapi juga mampu mendongkrak ekonomi masyarakat di sekitarnya.

Tentang Penulis:

T. Hasansyah adalah dosen pada STAI Jamiatut Tarbiyah Lhoksukon, mantan BEM UNIMA tahun 2000.

Konten ini merupakan buatan pengguna dan tidak mencerminkan pandangan redaksi.
Exit mobile version