Indeks

Kelezatan Ie Bu Peudah: Kuliner Khas Aceh yang Hanya Tersedia di Bulan Puasa

(Foto: acehprov.go.id)

Bulan puasa, momen suci bagi umat Muslim di seluruh dunia, bukan hanya tentang ibadah, tetapi juga tentang kuliner yang khas. Di Indonesia, khususnya di Aceh, terdapat sebuah hidangan istimewa yang hanya tersedia selama bulan Ramadhan, “Ie Bu Peudah”. Nama yang mungkin terdengar asing ini memiliki sejarah, rasa, dan nilai budaya yang mendalam.

Ie Bu Peudah berasal dari bahasa Aceh, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “air nasi pedas”. Namun, jangan terkecoh dengan namanya yang sederhana. Hidangan ini memiliki keistimewaan yang berbeda dari bubur-bubur lainnya. Dalam setiap hidangan Ie Bu Peudah, terdapat perpaduan 44 macam dedaunan hutan dan rempah-rempah yang menjadikannya begitu istimewa.

Pengolahan Ie Bu Peudah tidaklah mudah, untuk menghasilkan makanan ini perlu perjuangan ektra dan waktu yang tidak sedikit dalam mengumpulkan berbagai jenis dedaunan, diantaranya, seperti daun saga, daun si mirah doeng, daun sinekut, daun tahe, daun capa, daun pepaya, daun jeruk perut, daun melinjoe, daun tongkat ali, daun kumis kucing, daun tapak bumi, oen jampe (sejenis manggrove tumbuh di tambak), kedondong, kemudu, asam jawa, campli buta, oen setui, peugagan, kunyit, oen sigeuntot, dan masih banyak jenis dedaunan lainnya yang jumlah kesemuanya mencapai 44 macam. Sayangnya, saat ini beberapa macam daun untuk bahan ie Bu peudah ini sudah langka.

Dedaunan hutan yang mencapai 44 macam tersebut harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum ditumbuk bersama rempah-rempah seperti kunyit, lada, lengkuas, jahe, dan lainnya. Proses ini bukan hanya sekadar mengolah bahan, tetapi juga menciptakan harmoni rasa yang khas dan autentik.

Selain rasa lezatnya, Ie Bu Peudah juga dipercaya memiliki manfaat kesehatan. Ramuan alami dari dedaunan dan rempah-rempah yang digunakan dalam hidangan ini diyakini mampu menjauhkan penyakit mag, meredakan masuk angin, dan menjaga kebugaran tubuh. Sebagai tambahan, penggunaan bahan-bahan alami juga mencerminkan pemahaman akan keseimbangan alam dan kearifan lokal.

Bagi sebagian masyarakat Aceh, Ie Bu Peudah tidak hanya sekadar hidangan lezat, tetapi juga menjadi simbol silaturahmi dan kebudayaan dalam masyarakat Aceh. Saat bulan puasa tiba, hidangan ini menjadi sarana untuk mempererat hubungan antar anggota keluarga, tetangga, dan teman. Makan bersama-sama setelah berpuasa bukan hanya tentang memenuhi rasa lapar, tetapi juga menguatkan hubungan sosial.

Hidangan tradisional seperti Ie Bu Peudah memiliki peran penting dalam melestarikan tradisi dan kearifan lokal. Melalui penggunaan bahan-bahan alami dan resep warisan nenek moyang, hidangan ini menjadi pengingat akan sejarah dan identitas budaya Aceh. Menghidupkan kembali hidangan ini setiap tahunnya adalah bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai yang telah diwariskan.

Ie Bu Peudah adalah bukti hidup bagaimana kuliner dapat menjadi cerminan budaya dan makna yang lebih dalam. Di balik rasa pedas dan aroma harumnya terdapat warisan nilai-nilai kesehatan, silaturahmi, dan kearifan lokal. Ketika kita menikmati setiap suapan Ie Bu Peudah, kita turut merasakan kelezatan rasa dan kehangatan makna yang terkandung dalam setiap butirnya. Sebuah pengalaman yang tak hanya memanjakan lidah, tetapi juga mengajak kita merenung atas pentingnya melestarikan tradisi dan nilai-nilai luhur dalam setiap hidangan.[]

Exit mobile version