Indeks
Opini  

Menumbuhkan Etika Lingkungan dan Iklim ke dalam Perspektif Perguruan Tinggi Islam

Ilustrasi perubahan iklim. (Foto: Enrique/Pixabay )

Menurut sistem pendidikan nasional, perguruan tinggi Islam memiliki peran yang signifikan dalam angka partisipasi kasar. Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menampilkan angka pendidikan tinggi nasional sekitar 35 persen pada 2030. Namun, hal itu tidak sejalan dengan capaian mereka dalam indeks UI GreenMetric 2022.

Di penghujung tahun 2022, University of Indonesia GreenMetric (UIGM) 2022 merilis analisis data yang dikutip dari berbagai universitas secara global. Sayangnya, belum cukup menggembirakan bagi Pendidikan Agama Islam, terutama dalam konteks komitmen dan etika lingkungan, serta perubahan iklim di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).

Indeks tersebut adalah pemeringkatan dunia dari universitas dalam dan luar negeri yang berhubungan dengan pencapaian pengelolaan lingkungan dan respons terhadap perubahan iklim. Indeks tersebut diletakkan pada beberapa kriteria ketat seperti pengaturan dan infrastruktur, energi dan perubahan iklim, limbah, air, transportasi, pendidikan dan penelitian.

Diikuti oleh 1.050 perguruan tinggi dari 85 negara, hanya Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung yang masuk 10 besar (peringkat 8 perguruan tinggi nasional) dan 100 besar (peringkat 61 universitas global) dari institusi PTKI sebagaimana diumumkan dalam indeks pemeringkatan UIGM 202.

Pencapaian ini bisa dilihat dari dua sisi: kebanggaan dan kepedulian. UIN Lampung terbukti mampu menembus jajaran perguruan tinggi yang mendapat penilaian tinggi dari berbagai aspek penilaian meliputi ekosistem lingkungan kampus.

Namun, capaian penting UIN Lampung juga menimbulkan kekhawatiran karena terlihat “sendirian” dari lingkungan PTKI negeri dan swasta dalam keikutsertaan UIGM 2022. Hal ini berimplikasi pada beberapa hal mendasar pada perlengkapan PTAI mengenai kesadaran budaya lingkungan dan etika dalam pendidikan Islam.

Pertama, dengan entitas sebagai penduduk muslim terbesar di dunia, kesadaran terhadap lingkungan idealnya menjadi bagian dari agenda publik dalam inisiatif konstruktif dimana pendidikan Islam sebagai salah satu indikator utamanya. Seharusnya, pendidikan Islam sangat erat kaitannya dengan pesan perlunya menjaga lingkungan dan perubahan iklim. Karena dalam ajaran Islam, perintah menjaga kebersihan lingkungan dikatakan sebagian dari iman.

Kedua, belum terciptanya kesadaran lingkungan dan etika perubahan iklim sebagai unsur akademik dan pendidikan yang terstruktur dan terfungsional di tingkat Perguruan Tinggi Agama Islam. Meski dari sisi jumlah penduduk tidak sebesar Perguruan Tinggi Umum (PTU) pada umumnya, namun dukungan realitas sebagai entitas umat Islam terbesar di dunia mau tidak mau menjadikan perlengkapan PTKI memiliki peran penting dan strategis sebagaimana dimaksud urgensi pengarusutamaan kesadaran lingkungan dan perubahan iklim.

Tahun lalu Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengeluarkan peringatan merahnya, dimulai dengan percepatan krisis iklim dengan cepat dengan hanya sedikit peluang tersisa untuk menghindari malapetaka terburuknya. Apalagi, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, berulang kali mengatakan bahwa masalah perubahan iklim telah membawa umat manusia ke “jendela bencana”.

Secara signifikan, penegasan deklarasi global sejalan dengan posisi strategis perguruan tinggi dalam hal ini. Deklarasi Liga Dunia Muslim tentang Lingkungan tahun 2015 menekankan peran pendidikan sebagai elemen penting dan kemampuan strategis dalam membentuk kesadaran masyarakat tentang lingkungan dan perubahan iklim.

Hal ini jelas tertuang dalam Islamic Declaration on Global Climate Change (IDGCC) yang diadakan di Istanbul pada tahun 2015. IDGCC (pasal 1.6) menganggap bahwa sejak berkembangnya Revolusi Industri umat manusia telah mengkonsumsi sumber daya alam tak terbarukan secara tidak terkendali di nama pembangunan ekonomi dan pencapaian peradaban manusia. Akibatnya, tindakan eksploitatif ini membutuhkan waktu 250 juta tahun untuk memulihkan bumi. Inilah realitas kerusakan (fasad) yang telah menjadi peringatan Alquran sejak dini.

Dalam hal merawat bumi, bijak terhadap sumber daya alam dan menyikapi perubahan iklim, IDGCC mengingatkan umat Islam di seluruh dunia untuk mencontoh Nabi Muhammad SAW. Dalam segala tindakannya, tertanam semua keluhuran atribusi penghormatan terhadap manusia, lingkungan, flora dan fauna. Tentunya hal ini sendiri merupakan cerminan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, agama yang menyerukan kasih sayang kepada seluruh alam dan isinya, bagian dari definisi yang tepat dari kampanye masif saat ini yaitu moderasi beragama (Moderasi Beragama).

Lebih lanjut, saat ini diperlukan kesadaran baru, semangat bersama, dan langkah-langkah konkrit untuk merevitalisasi deklarasi tersebut karena beberapa alasan. Pertama, perlunya refleksi bersama tentang upaya menghargai lingkungan dan meningkatkan kewaspadaan.

Opini berbahasa asing oleh Saiful Maarif, Asesor HRD Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama diterjemahkan dengan kecerdasan buatan.

Sumber : kemenag.go.id
Exit mobile version