Bagian pertama
Aceh, sebagai salah satu provinsi di Indonesia, memiliki kekayaan luar biasa dalam seni dan budaya yang menjadi ciri khasnya. Setiap momen dalam kehidupan masyarakat Aceh tidak lepas dari keindahan dan kedalaman budayanya.
Seni tradisional Aceh, seperti tari Saman, merupakan daya tarik utama. Gerakan yang indah dan ritmis diiringi oleh syair yang khas, menciptakan sebuah penampilan yang begitu memukau. Tidak hanya tarian, Nazam Aceh, meureukoen dan Hikayat, seperti Ca’e, Poh cakra atau sebagian orang menyebutnya dengan Pe Em Toh juga memberikan kontribusi besar dalam menciptakan kekayaan daerah yang memesona.
Pada momen-momen perayaan di Aceh selalu diwarnai oleh nuansa budaya yang kental. Mulai dari pernikahan hingga perayaan keagamaan seperti Lebaran, setiap upacara dihiasi dengan busana tradisional yang memukau dan ritual yang memiliki makna mendalam.
Aceh juga memiliki warisan sastra yang mengagumkan. Karya-karya sastra, seperti Hikayat Prang Sabi, menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Aceh. Bahasa Aceh yang kaya dengan istilah dan ungkapan tradisional menjadi cermin kearifan lokal yang perlu dijaga.
Dengan semua kekayaan ini, Aceh bukan hanya menjadi destinasi wisata yang indah, tetapi juga menjadi laboratorium budaya yang hidup. Masyarakat Aceh terus menjaga dan melestarikan kekayaan budaya. menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari setiap aspek kehidupan sehari-hari.
Pun demikian, akibat modernisasi, saat ini budaya Aceh, termasuk seni tradisi mulai terkikis oleh arus globalisasi. Perubahan gaya hidup dan nilai-nilai yang dibawa oleh modernisasi membawa dampak signifikan terhadap keberlanjutan warisan budaya Aceh.
Salah seorang pemerhati budaya di Kabupaten Aceh Utara, Hamdani, S.Ag., M.Sos, mengungkapkan bahwa pentas seni tradisional seperti Mop-Mop, meurukon, dan Pe Em Toh, saat ini telah jarang dipentaskan. Dia mengidentifikasi piasan ini mulai pudar memasuki abad milenium.
“Kita tidak bisa pungkiri, saat ini seni tradisi Aceh mulai terkikis. Sebagai contoh misalnya meurukon. Padahal, dahulu meurukon menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh,” ujar Hamdani saat ditemui Notula.News Senin (11/12/2023) di sebuah warung kopi di Kota Lhokseumawe.
Meurukon adalah seni pertunjukan tanya-jawab keagamaan, membahas berbagai aspek ilmu agama, mulai dari masalah tauhid, atau yang dikenal sebagai meusifeut, yang fokus pada sifat-sifat Allah Swt dan Rasul, hingga masalah fiqih dan tasawuf.
Sebelum pesatnya perkembangan media massa dan teknologi, seni meurukon ini di Aceh memiliki peran penting sebagai wahana dakwah, pendidikan keagamaan, dan sarana hiburan rakyat.
Kelompok meurukon, kala itu tidak hanya aktif di meunasah atau balai pengajian, tetapi juga menyemarakkan berbagai acara sosial dan keagamaan. Tradisi saling mengundang antar kelompok meurukon dari berbagai daerah memperkuat keberadaan seni ini. Namun, dengan minimnya kelompok meurukon yang masih eksis, seni ini menghadapi ancaman kepunahan.
“Dengan minimnya kelompok meurukon yang masih eksis, seni meurukon kini sulit ditemui di banyak daerah. Faktor eksternal seperti modernisasi dan perubahan sosial berkontribusi pada kehilangan tradisi ini. Selain itu, hilangnya tokoh-tokoh utama tanpa waris juga menjadi faktor krusial dalam tingginya kerentanan seni meurukon,”
Situasi ini, menurut Hamdani, memunculkan kekhawatiran akan keberlanjutan eksistensi seni meurukon. Meskipun masih dapat ditemui di beberapa desa tertentu, upaya untuk menggali kembali jejak meurukon dan melestarikan warisan budaya ini perlu mendapatkan perhatian serius.
Bersambung.