Bulukat Kuah Tuhe, atau yang lebih dikenal sebagai kolak Aceh, bukan sekadar makanan lezat. Ia adalah cerminan dari nilai-nilai kebersamaan dan warisan tradisi yang kaya. Turun temurun, kuah tuhe telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kuliner yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam acara kumpul keluarga, kuah tuhe bukan hanya menggugah selera, tetapi juga menguatkan silaturrahmi. Ia menjadi pengikat yang mempererat hubungan di antara anggota keluarga. Saat perayaan hari raya, kuah tuhe juga menjadi hidangan utama yang menambah kehangatan dan kemeriahan suasana. Ini mengilhami rasa saling peduli dan kebersamaan dalam keluarga.
Pada masa lalu, sebelum mesin perontok padi menjadi umum, kuah tuhe memiliki peran penting selama proses ceumeulhe, yakni merentokkan padi dengan kaki. Kegiatan ceumeulhe biasanya dilakukan secara bergotong-royong di malam hari, di tengah udara yang sejuk. Kuah tuhe tak hanya menjadi hidangan, tetapi juga menjadi sumber semangat bagi para pekerja.
Pentingnya bulukat kuah tuhe saat ceumeulhe tercermin dalam pertanyaan khas, “Na kuah tuhe atau na mangat kuah tuhe?” (Ada kuah tuhe atau apakah kuah tuhe cukup enak?). Pertanyaan ini mencerminkan peran kuah tuhe sebagai penyemangat dalam merontokkan padi.
Bahkan, sebagian orang menganggap, cepat lambatnya kehabisan seleumpok pade (tumpukan padi) di Blang (sawah) saat ceumeulhe dipengaruhi dari rasa dan banyaknya kuah tuhe. Ini membuktikan bahwa kuah tuhe telah menjadi simbol semangat gotong-royong dan kerja keras.
Pada masa yang sama, minuman seperti kopi dan teh juga mendapat tempat dalam tradisi. Kopi dan teh menjadi pendamping kuah tuhe, memberikan kehangatan dalam proses ceumeulhe yang kadang dilakukan di malam hari. Minuman ini tidak hanya menghangatkan tubuh, tetapi juga jiwa para pekerja.
Dalam suasana ceumeulhe, cahaya lampu patromat (panyoet seurungkeng) biasanya menerangi malam. Meskipun demikian, pada malam bulan purnama, cahaya bulan sering cukup untuk menerangi proses ceumeulhe. Hal ini menciptakan atmosfer magis yang dikombinasikan dengan cerita-cerita horor yang digunakan untuk menakuti rekan-rekan yang kurang berani sebagai lelucon.
Lebih dari sekadar makanan, kuah tuhe adalah bagian tak terpisahkan dari budaya dan tradisi Aceh. Ia mengajarkan tentang nilai-nilai kebersamaan, semangat gotong-royong, dan pentingnya berbagi dalam kehidupan sehari-hari. Kuah tuhe menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, menghubungkan generasi dan mewariskan nilai-nilai yang tak ternilai.
Kuah tuhe Aceh adalah pengingat akan pentingnya kebersamaan, semangat gotong-royong, dan warisan tradisi yang harus dijaga dengan penuh rasa hormat. Dalam setiap sentuhannya, bulukat kuah tuhe membawa cerita panjang tentang kerja keras, hubungan keluarga yang erat, dan nilai-nilai yang melekat dalam budaya Aceh.
Resep Bulukat Kuah Tuhe Khas Aceh untuk porsi 8 orang:
Bahan-bahan:
1000 gram beras ketan
2 lembar daun pandan
2 butir kelapa
1 sisir pisang raja (jenis pisang dapat disesuaikan dengan selera)
1/2 kg gula
1/2 buah nangka masak atau disesuaikan dengan ukuran buah nangka, jika buah nangka besar hanya cukup 1/4 saja
Vanili secukupnya
Garam secukupnya
Proses pembuatan:
Kukus beras ketan hingga menjadi pulut (bulukat), tambahkan sedikit garam sebagai penguat rasa.
Peras kelapa parut hingga menjadi pati santan, sisihkan.
Potong nangka sesuai selera dengan ukuran kira-kira 2 x 5 cm.
Belah pisang raja menjadi dua, lalu diiris miring memanjang.
Masak santan bersama gula, garam, vanili dan daun pandan. Setelah mendidih, masukkan potongan pisang dan nangka serta bijinya. Kuah tuhe sudah siap untuk disajikan dengan bulukat. Selamat mencoba membuat Kuah Tuhe Khas Aceh yang lezat!.[]