Aceh Utara – “Meskipun rokok pucuk daun nipah saat ini kalah saing dengan rokok tembakau pabrikan (konvensional), namun rokok pucuk hasil pengrajin tradisional di Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara masih saja mendapat permintaan dari berbagai pangsa pasar daerah, luar daerah, bahkan hingga luar negeri.”
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang pengrajin rokok pucuk daun nipah asal Gampong Cubrek Tanah Pasir, Saiful, (45), Kamis, sore, (2/2/2023), saat dikunjungi notula.news di Gampong setempat.
Diketahui, rokok pucuk daun nipah atau dalam bahasa Aceh disebut dengan Rukok Oen Lipah ini sangat masyhur di era tahun 60 an hingga 80 an. Ketika itu persaingan pasar antara rokok pucuk dengan rokok konvensional masih berimbang.
Pada masa kejayaannya, pasar rokok pucuk nipah ini bisa tembus ke manca Negara, seperti Malaysia, Singapura dan Jepang. Pada waktu itu, konsumen rokok pucuk sama halnya seperti pengkonsumsi rokok konvensional saat ini, dalam artian kedudukan rokok pucuk kala itu sejajar dengan rokok konvensional.
Berbeda halnya dengan sekarang, mengkonsumsi rokok pucuk daun nipah menjadi barang langka, khususnya bagi kaum milenial, karena memang mereka tidak tau, apalagi menikmati. Untuk saat ini, pengkonsumsi rokok pucuk nipah hanya didominasi oleh kaum tua saja, itu pun sangat terbatas.
“Walaupun hanya kaum tua yang menggunakan rokok pucuk nipah ini, tapi permintaanya masih sangat tinggi di sini, karena wilayah pemasarannya tidak hanya terbatas di dalam daerah saja,” sebut Saiful.
Lanjutnya, disini ada tiga Desa utama yang produk rokok daun nipah, yaitu desa Cubrek, Jeurat Manyang dan Tupin Gapeuh, hasil produk kami jual ke pengepul di Gampong, kemudian satu minggu sekali datang toke dari luar mengambil untuk di pasar luaskan.
“Harga rokok nipah sekarang lagi murah, per kilo gram hanya dibayar 11 ribu rupiah, kalau lagi mahal bisa mencapai 15 ribu,” ucap Saiful.
Dari penghasilan membuat rokok daun nipah ini, Saiful mampu membiayai kehidupan keluarganya, pendapatan yang ia dapatkan perbulan rata-rata di atas satu juta rupiah, itu tergantung dari bulatan pucuk nipah yang ia dapatkan.
“Kami tidak bisa produksi tiap hari karena bulatan pucuk nipah sekarang susah kita dapatkan, apalagi jika hanya mengharap dari pucuk daun yang ada di sekitar ini, itu sangat tidak mungkin, paling dua atau tiga hari kerja sudah habis,” sebutnya.
Dia mengaku, produksi rokok pucuk nipah saat ini di daerahnya sangat tergantung dari pasokan bulatan pucuk oleh toke, bila bahan bakunya lancar, pundi pundi rupiah yang ia dapatkan dari pucuk nipah juga semakin banyak.
“Pucuk daun nipah dipasok ke sini tidak menentu atau tidak terjadwal, kadang-kadang masuk seminggu sekali, kadang juga lebih, itu tergantung toke. Selain itu, faktor cuaca juga sangat menentukan, jika musim hujan kayak bulan kemarin kita tidak bisa produksi,” kata Saiful.
Salah seorang pengepul di Gampong Cubrek, Rohana, (27), membenarkan, jika bahan baku rokok nipah yang didatangi oleh toke ke Desanya berasal dari luar daerah.
“Ia benar, pucuk nipah yang dibawa toke kesini berasal dari berbagai daerah, ada yang dari Aceh Timur, ada yang dari Langsa, dan ada juga yang dari Sibolga, itu tergantung jaringan toke,” sebut Rohana.
Tambahnya, toke masuk ke sini mengambil hasil produksi tergantung permintaan pasar dan ketersedian stock barang dari kita, karena yang mereka ambil bukan hanya rokok daun nipah saja, tapi juga lidi. Harga lidi nipah saat ini lima ribu rupiah per kilo gram, sedangkan lidi dari nyiur kelapa tiga ribu per kilo.
“Harga barang kita tidak menentu, itu tergantung pasar, kadang mahal, kadang juga murah, tapi kalau permintaan pasar tinggi biasanya harga naik,” tutup Rohana.[]