Aceh Utara – Cuaca mendung yang menyelimuti Kecamatan Syamtalira Bayu dan sekitarnya tidak menyurutkan semangat Marzuki (49), seorang petani garam di Lancok, Aceh Utara, untuk terus bekerja. Terlihat dengan tangan telanjang, ia mengeruk tanah di petak lahan garam yang digarapnya.
Marzuki, yang telah menggeluti profesi sebagai petani garam selama lebih dari 30 tahun, harus menghadapi tantangan besar saat cuaca buruk datang. Curah hujan yang tinggi dan kurangnya sinar matahari membuat proses produksi garam terhambat. Namun, Marzuki tetap bertekad untuk terus berusaha demi menghidupi keluarganya.
“Cuaca seperti ini memang menyulitkan, tetapi kita harus tetap bekerja. Tidak ada pilihan lain,” ujar Marzuki dengan tegas kepada media ini, Minggu, (14/7/2024).
Hari ini adalah hari pertama ia kembali menggarap lahan setelah absen selama enam bulan karena sakit; tangannya masih lemah saat memegang penggaruk tanah, sesekali ia berhenti karena kondisi tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih.
Terkadang ia masuk ke dalam gubuk pengolahan garam untuk memeriksa api dan menambah kayu bakar pada dapur garam yang sedang dimasaknya. Air garam yang dimasaknya hari ini adalah sisa yang disimpan enam bulan lalu. Ia memasak dua kuali, masing-masing kuali mendapatkan 25 kg garam, sehingga total yang ia dapatkan hari ini adalah 50 kg.
Dia mengakui bahwa petani garam di wilayah ini sering menghadapi masalah serupa setiap kali musim hujan tiba. Air hujan yang menggenangi petak garam menghambat kristalisasi garam, sehingga produksi menurun drastis. Dalam kondisi seperti ini, Marzuki dan petani lainnya hanya bisa berharap agar cuaca segera membaik.
Pendapat yang serupa juga diungkapkan oleh Apa Ki, yang menyatakan bahwa hujan dan cuaca mendung melambatkan proses penguapan air laut menjadi garam. Banyak petani yang terpaksa menunda panen atau bahkan mengalami gagal panen.
“Biasanya, dalam kondisi cuaca normal, kami bisa memanen garam setiap empat hari sekali. Namun, dalam bulan terakhir ini, kami hanya bisa memanen sekali dalam dua minggu. Hal ini tentu saja berdampak besar pada penghasilan kami,” kata Apa Ki.
Cuaca buruk juga menyebabkan kualitas garam yang dihasilkan menurun. Garam yang dipanen sering kali basah dan tidak murni, sehingga harga jualnya pun turun. Hal ini semakin memperburuk kondisi ekonomi para petani garam.
“Selain jumlahnya yang berkurang, kualitas garam juga tidak seperti biasanya. Ini membuat harga jual turun dan kami semakin kesulitan,” tambah Apa Ki.
Ia menjelaskan bahwa harga garam yang mereka jual saat ini sekitar 7 ribu rupiah per kilogram kepada pengepul, sementara ia harus membagi hasil dengan pemilik lahan dengan sistem bagi hasil enam banding satu.
“Saya menggarap lahan orang dengan sistem bagi hasil enam banding satu, di mana lima kali panen untuk saya dan satu kali untuk yang punya lahan,” ungkapnya.
Untuk bertahan hidup, Apa Ki kadang-kadang menjadi pengecer garam di kios-kios sekitar kecamatan Syamtalira Bayu dan sekitarnya. Namun, usahanya tidak mudah karena sebagian pembelinya tidak membayar langsung.
Apa Ki juga berbagi kisah pilunya saat tsunami Aceh 2004, di mana istri dan semua anaknya menjadi korban tragis. Kini, dia harus menghadapi tantangan ekonomi ini sendirian.[]