Lhokseumawe – Konsep Smart City atau Kota Cerdas tidak hanya sebatas adopsi teknologi tinggi, namun dimulai dari langkah-langkah strategis yang berpijak pada kebutuhan nyata masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Taufiq, dosen Magister Teknologi Informasi Universitas Malikussaleh, dalam sebuah diskusi mengenai transformasi digital kota-kota di Indonesia.
Menurutnya, tahapan awal dalam membangun Smart City adalah dengan mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan kota secara menyeluruh, mulai dari isu kemacetan, pengelolaan sampah, banjir, hingga pelayanan publik.
“Analisis masalah tidak bisa dilakukan dari balik meja. Harus melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan agar solusi yang dirancang benar-benar relevan,” jelas Dr. Taufiq, Selasa (16/4).
Langkah selanjutnya adalah penyusunan visi dan rencana strategis. Visi kota cerdas jangka panjang harus ditetapkan sejak awal, dengan roadmap yang fokus pada sektor-sektor prioritas seperti transportasi, energi, kesehatan, pendidikan, dan pemerintahan digital.
Ia menekankan pentingnya penguatan infrastruktur digital, terutama penyediaan jaringan internet berkecepatan tinggi, perangkat Internet of Things (IoT), dan pusat data. Akses terhadap teknologi, menurutnya, harus merata agar tidak menimbulkan kesenjangan digital.
Dalam tahap pengembangan, sistem dan platform terintegrasi perlu dirancang untuk mengelola data dari berbagai sektor. Platform ini bisa berbentuk aplikasi atau layanan web, seperti sistem manajemen lalu lintas pintar, layanan pemerintahan daring (e-government), kesehatan digital (e-health), hingga pengelolaan sampah cerdas.
Teknologi cerdas seperti IoT, kecerdasan buatan (AI), dan big data menjadi elemen penting untuk pengambilan keputusan berbasis data real-time.
“Sensor pintar dan analitik data bisa membantu pemerintah merespons masalah lebih cepat dan akurat. Ini adalah kunci efektivitas kota cerdas,” ujarnya.
Namun, teknologi saja tidak cukup. Pemberdayaan dan literasi digital masyarakat juga menjadi perhatian utama. Pemerintah daerah perlu mengadakan pelatihan dan sosialisasi agar warga bisa memanfaatkan layanan smart city secara optimal.
Kemudian, kemitraan dengan sektor swasta, akademisi, dan lembaga riset juga dibutuhkan, termasuk dalam pembiayaan proyek melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Terakhir, monitoring, evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan harus dilakukan untuk memastikan program smart city tetap adaptif dan efektif.
“Smart City bukan proyek satu kali jadi. Harus terus dipantau dan disesuaikan dengan dinamika kota dan kebutuhan warganya,” tutup Dr. Taufiq.
Konsep ini, lanjutnya, bukan sekadar tren global, tetapi kebutuhan riil agar kota mampu menjawab tantangan zaman dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.