Aceh Utara – “Pelepasan ini sebenarnya untuk masyarakat, demi masyarakat, karena di samping perkebunan mereka telah terkait dengan hutan lindung, jadi kalau tidak dilakukan pelepasan, mereka tidak bisa membersihkan di sekeliling perkebunan mereka.”
Uraian di atas disampaikan oleh salah seorang Kadus Gampong Lubok Pusaka Langkahan, Zulkifli, Sabtu, siang, 21 Januari 2023, di kebun plasma kelapa sawit Gampong setempat, saat diwawancarai awak media tentang program TORA.
Sebagaimana diketahui, baru-baru ini mencuat ke publik terkait pengajuan pelepasan kawasan hutan menjadi Area Peruntukkan Lain (APL), di Kecamatan Langkahan Kabupaten Aceh Utara, seluas 2.800 hektar, ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Pengajuan tersebut untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi warga Dusun Ketok, yang telah menempati kawasan terkait dengan hutan lindung selama puluhan tahun. Dengan program TORA ini, memungkinkan dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan permasalahan sengketa tanah.
“Sejak puluhan tahun bernaung, berdomisili di Dusun Ketok, ternyata belum ada pemberitahuan sejak dulu bahwa kawasan mereka terkait dengan hutan lindung. Jadi program Camat sekarang melakukan pelepasan demi masyarakat di Ketok yang telah berdomisili yang ternyata lahan mereka terkait dengan hutan lindung,” sebut Zulkifli.
Keterangan Zulkifli ini di benarkan oleh Imum Mukim Rampah, Janni. Perlu diketahui, Kemukiman Rampah sendiri membawahi 5 Gampong (Desa), yaitu Langkahan, Rumoeh rayeuk, Buket Linteung, Serke dan Lubok Pusaka.
Selaku Imum Mukim, Janni menyatakan apresiasi dan sikap dukungannya terhadap usulan program TORA, ia berharap pengajuan program TORA ini dapat terealisasi sebagaimana yang dimaksud dan membawa manfaat bagi masyarakat setempat.
“Pengurusan TORA karena sudah ada pemukiman di situ, bahkan sudah puluhan tahun pemukiman itu ada, yang di TORA – kan itu karena menurut peta masih hutan lindung, padahal kampung itu udah puluhan tahun, pokok durian pun udah bukan main besarnya, memang dasar kampung sudah lama,” kata Janni.
Sumber informasi lain notula.news dapatkan dari salah seorang warga Gampong Buket Linteung, Sabtu, sore, 21 Januari 2023. Ia meminta namanya untuk tidak dipublis karena menganggap dirinya tidak punya kapasitas berbicara tentang itu. Padahal, sumber ini mengetahui banyak informasi tentang lahirnya pemukiman di Dusun Ketok yang baru-baru ini diketahui terkait dengan hutan lindung.
Dia mengungkapkan, baru-baru ini dirinya baru turun dari Dusun Ketok, persis kawasan yang diduga terkait dengan hutan lindung yang rencana akan di TORA. Sambil menunjukkan foto-foto sebagai bukti, ia berkata. “Coba lihat, ini pokok durian besar batangnya sudah satu meter, yang ini pohon kelapa tingginya bukan main, dan coba lihat yang ini lagi
pohon pinang juga sudah besar-besar,” ucap sumber.
Menurutnya, tanaman tersebut menunjukkan fakta bahwa, pendudukan di area yang diduga terkait dengan hutan lindung itu sudah terjadi sangat lama, tapi dia tidak bisa memastikan kapan tahunnya.
Dia mengisahkan, awalnya warga di perkampungan daerah itu naik ke sana untuk mencari rotan, getah damar, dan lain sebagainya yang bisa menghasilkan uang. Waktu itu mereka masih pulang pergi, jika pun menetap hanya sekitar tiga hari atau satu minggu saja, tergantung hasil yang didapat dari hutan, setelah itu pulang kembali ke perkampungan.
“Singkat cerita, lama-lama para pencari rezeki di hutan ini mulai menetap di sana dengan membangun gubuk-gubuk, lalu membawa keluarga, anak dan istri. Ketika itu, mulailah mereka membuka lahan, berkebun dan bercocok tanam, waktu itu mereka tidak tau bahwa area yang mereka tempati terkait dengan hutan lindung,” ungkap sumber.
Lanjutnya, setelah berpuluh puluh tahun menetap, baru-baru ini dilakukan pengukuran koordinat, dan ternyata kawasan yang mereka tempati selama ini terkait dengan hutan lindung.
“Setelah mengetahui lahan yang mereka buka selama ini terkait dengan hutan lindung, ada sebagian warga di sana telah meninggalkan rumah, kebun dan semua harta yang tidak mungkin dibawa. Menurut mereka, tidak ada artinya mempertahankan hidup di sana, yang pada akhirnya juga tidak bisa mewarisi satu jengkal pun tanah untuk anak keturunannya,” katanya.
Namun sebagian lainnya, lanjut sumber, masih menetap di sana. Bagi mereka tidak ada pilihan lain selain bertahan walau kerap mendapat serangan gajah.
“Usai pengukuran koordinat, sebagian warga sudah meninggalkan pemukiman, kebun-kebun mereka saat ini mulai dirusak gajah. Andaikan TORA yang di programkan ini disetujui, mungkin ini menjadi harapan baru, agar dapat melanjutkan apa yang telah mereka bina selama ini,” tutup sumber.[]