Banda Aceh – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Aceh resmi dideklarasikan pada Sabtu, 14 September 2024, di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh. Pembentukan KKJ Aceh ditandai dengan diskusi bertema “Advokasi dan Keamanan Jurnalis” dan deklarasi oleh tujuh organisasi, termasuk AJI Banda Aceh, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Aceh, serta Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh. Tiga organisasi masyarakat sipil juga turut serta, yaitu Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh (LBH), Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).
Koordinator KKJ Indonesia, Erick Tanjung, menyampaikan pentingnya menjaga kebebasan pers untuk melindungi kepentingan publik.
“Tanpa kebebasan pers, yang dirugikan adalah publik karena tidak dapat mengakses berita penting yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pers memiliki mandat yang diberikan oleh rakyat kepada media, yang berfungsi sebagai mata dan telinga untuk memantau dan mengawasi persoalan di negeri ini,” ujar Erick.
Erick juga menegaskan bahwa kebebasan pers harus dijaga melalui kolaborasi berbagai pihak.
“Penting bagi kita untuk terus berkolaborasi menjaga kemerdekaan pers di Indonesia. Dari Januari hingga Agustus 2024, tercatat ada 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Pada bulan September, angka ini diperkirakan akan meningkat,” tambahnya.
Aceh menjadi provinsi ketujuh yang mendeklarasikan KKJ setelah Ambon, Sumatera Utara, Papua Barat Daya, NTT, NTB, dan Jawa Timur. Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin, menyambut baik pembentukan KKJ di Aceh.
“Dengan adanya KKJ ini, berbagai persoalan bisa kita hadapi bersama. PWI siap untuk berkolaborasi agar kita semakin kuat dalam menghadapi berbagai bentuk teror dan intimidasi,” kata Nasir.
Koordinator MaTA, Alfian, berharap KKJ Aceh tidak hanya berhenti pada deklarasi, tetapi menjadi pusat advokasi dan pertukaran informasi.
“Harapan kami, KKJ bukan hanya sekadar deklarasi, tapi menjadi ruang gagasan dan ide, serta pusat advokasi,” katanya.
Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menilai pembentukan KKJ Aceh sebagai langkah penting untuk melindungi hak publik dalam memperoleh informasi.
“Kebenaran tidak boleh ditutup-tutupi, dan informasi tidak bisa dimonopoli. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang sebenarnya,” tegas Aulianda.
Di sisi lain, Ketua IJTI Pengda Aceh, Munir Noer, berharap para jurnalis di Aceh dibekali dengan pengetahuan advokasi yang cukup untuk melindungi diri.
“Apabila ada ancaman dari luar, mereka (jurnalis) sudah tahu apa yang harus dilakukan dan ke mana harus melapor,” kata Munir.
Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang 2023 terdapat 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media. Kekerasan ini mencakup fisik, teror, digital, kriminalisasi, dan kekerasan seksual. Pelaku kekerasan didominasi aktor negara dan non-negara.
Koordinator KKJ Aceh, Rino Abonita, menegaskan bahwa kasus kekerasan terhadap jurnalis di Aceh mirip fenomena gunung es.
“Yang tampak di permukaan tak menunjukkan jumlah riil,” ujar Rino. KKJ Aceh diharapkan dapat melindungi jurnalis dan mendukung kegiatan jurnalistik yang profesional dan berpihak kepada kepentingan publik.
“KKJ Aceh ini juga bukan hanya mengetengahkan solidaritas, tetapi juga upaya kita untuk memupuk soliditas,” tutup Rino.