Indeks
News  

Bagian Dua: “Maya long”, Penggalan Cerita Tsunami Aceh 19 Tahun lalu

Kenangan bantuan kemanusiaan 'Indonesia Menangis yang disimpanYuli selama 19 Tahun, Kamis,(14/12/2023), (Foto: Notula/ Zamanhuri)

Seiring matahari terbenam di cakrawala, warna langit perlahan berubah menjadi nuansa oranye dan merah muda yang lembut. Udara semakin sejuk, melingkupi Gampong Beunoet dalam kedamaian senja.

Setelah acara pemakaman yang penuh kenangan, mereka bersama-sama pulang. Sepanjang perjalanan, mata mereka penuh refleksi, memikirkan perjalanan hidup yang mereka lewati bersama sang almarhum.

Hamid mengisahkan, pada malam itu, mereka berkumpul di rumah saudara di Gampong Beunoet, menghabiskan malam tanpa kehadiran Maya. Di rumah yang sederhana itu, cahaya temaram lampu menyala, memperlihatkan bayangan-bayangan wajah yang masih tertutup oleh kesedihan.

Hamid, yang menyandang beban sebagai kepala keluarga, mencoba membangun semangat dengan tersenyum pahit. Yuli, yang perasaannya tertekan, seakan masih terombang ambing hanyut dalam gelombang dahsyat itu terus, ia tidak bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya dan bisa selamat, pikirannya dipenuhi dengan kekosongan. Begitu juga dengan anak pertama mereka, Vidya, yang saat itu masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar, hanya terkenang akan kenangan bersama Maya. Gampong Beunoet, tempat berkumpul keluarga itu, menjadi saksi bisu dari kesedihan yang melanda.

Namun, di tengah kelamnya malam itu, Hamid berusaha membangkitkan semangat. Dengan suara lembutnya mencoba menghibur yang lain. Seiring malam berlalu, percakapan mengalir perlahan, mengupas lapisan-lapisan perasaan yang terpendam, cerita tentang rumah mereka yang tersapu gelombang tsunami dan sejuta kenangan di dalamnya.

Ketika waktu berjalan, keluarga itu coba merincikan saudara mara yang menjadi korban dan mengingatkan akan momen-momen indah yang pernah mereka rasakan. Meskipun dalam kesedihan, mereka saling mendukung dan mencoba mencari cara untuk melangkah ke depan.

Pagi tiba, membawa sinar matahari yang lambat laun menerangi hati yang masih terluka. Meskipun kepergian Maya meninggalkan luka yang mendalam, keluarga itu menyadari bahwa hidup harus terus berlanjut.

Semenjak hari itu, setelah tragedi bencana yang merenggut segalanya, mereka bersama para korban lain, mulai tinggal di tenda tenda pengungsian. Langit-langit tenda itu dan rerumputan lapangan Syuhada Bayu, menjadi saksi bisu perjuangan mereka menghadapi kehidupan yang tiba-tiba berubah drastis.

Mereka bangun setiap pagi dengan ingatan yang memilukan tentang kehilangan orang-orang terkasih dan harta benda yang sudah menjadi kenangan. Hari-hari di pengungsian terasa seperti perjalanan tak berujung di lautan keputusasaan. Tapi di tengah segala kesulitan itu, ada kekuatan solidaritas di antara mereka yang sama-sama terdampak.

Menghadapi kenyataan bahwa semua harta benda telah dilanda tsunami, mereka berusaha membangun kembali kehidupan dari nol. Sederet kisah inspiratif muncul di sepanjang perjalanan mereka, di mana ketekunan dan semangat gotong-royong menjadi pilar utama dalam merekonstruksi masa depan yang hancur.

Setiap senja membawa cerita pilu, namun juga menjadi saksi perlahan pulihnya semangat. Dalam tenda-tenda sederhana itu, terjalin keakraban di antara para pengungsi. Mereka saling berbagi kisah, tawa, dan air mata. Beban mental yang mereka pikul menjadi ringan ketika bersama-sama.

Seiring berjalannya waktu, bantuan dari berbagai pihak mulai mengalir, membawa kehangatan di tengah dinginnya kehidupan pengungsian. Pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan psikososial, serta shelter barak barak pengungsian membantu mengurangi beban mereka.

Meskipun masih di pengungsian, mereka mulai merintis kembali jejak kehidupan normal. Dalam setiap usaha, terukir kekuatan yang muncul dari kepungan bencana. Tenda-tenda yang dulunya hanya tempat berlindung, kemudian menjadi saksi bisu perjuangan dan lahirnya kembali semangat hidup. Mereka belajar untuk menghargai setiap momen kecil, menyadari bahwa kekuatan untuk bangkit tidak hanya terletak pada bantuan fisik, tapi juga dalam kebersamaan dan tekad untuk membangun masa depan yang lebih baik, dalam merangkai kembali mimpi-mimpi yang hancur terbawa arus tsunami.

Yuli, Kamis, (14/12/2023), (Foto: Notula/ Zamanhuri)

Hamid dan Yuli bergantian melanjutkan cerita. Mereka menyampaikan meskipun dalam situasi sulit dan terbatas, semangat serta tekad belajar Vidya tetap bercahaya. Dengan buku-buku terbatas dan sehelai kertas sederhana, Vidya tetap menggali bakat menulisnya.

“Vidya sering mengekspresikan diri melalui puisi. Lewat karya-karyanya, ia menyampaikan keinginan dan perasaannya. Untuk mengetahui apakah puisi-puisi tersebut masih ada, mungkin bisa ditanyakan langsung kepada Vidya,” sarannya kepada kami. Hamid menambahkan, “Dia sekarang menjual pulsa di sana,” sambil menunjuk counter pulsa Vidya yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat kami.

Suasana sore itu di sekitar warung penuh keceriaan, tiba-tiba suara manja menyapa, “Ayah.” Hamid dengan lembutnya menjawab, “Ya, nak.” sambil menoleh. Tangannya menunjuk ke arah sekelompok gadis ABG yang ceria bermain sepeda listrik. Dengan senyum, ia berkata, “Itu yang di belakang, anak saya yang bungsu, namanya Ulfa.” Kami mengangguk paham, dan Hamid melanjutkan ceritanya sambil menunjuk ke arah Ulfa yang sedang bermain riang. “Dia selalu ceria seperti itu,” kata Hamid bangga.

Tak lama berselang, Alfat dan temannya muncul. Hamid memanggilnya dengan ramah, “Alfat, kemari nak!” Alfat menuruti permintaan Hamid, lalu memperkenalkannya kepada kami. Alfat dengan sopan bersalaman, memperkenalkan dirinya, dan kami bertukar sapaan hangat. Sayangnya, Alfat harus pamit karena urusan pekerjaan di balai pengajian.

“Saya harus buru-buru menyelesaikan pekerjaan di sana bang,” ujarnya sambil memberi salam perpisahan. Kami mengucapkan selamat tinggal sambil berharap bisa bertemu lagi di lain waktu. Hamid tersenyum, bangga memperkenalkan keluarganya yang penuh keceriaan dan kehangatan.

Hamid dan Yuli meneruskan cerita, pada tahun 2006, mereka dan warga lainnya kembali ke Desa Lancok setelah rumah mereka direkonstruksi oleh NGO. Namun, suasana masih dipenuhi jejak kehancuran akibat tsunami, dan warga desa bekerja keras membangun kembali kehidupan mereka yang hancur. Hamid turut berperan aktif membantu dan membimbing masyarakat setempat dalam proses pemulihan.

Di akhir perjumpaan, Hamid dan Yuli menanyakan kabar Hamdani Metro, seorang wartawan yang secara aktif meliput tragedi bencana gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2024. “Bagaimana kabar Pak Hamdani sekarang?” tanya Hamid.

Yuli bergegas mengambil sebuah kenangan bantuan yang pernah dibawa Hamdani. Meskipun telah disimpan selama 19 tahun, tampak masih terjaga dengan baik. Ia tersenyum memperlihatkan kenangan itu. Lalu, berkata, “Dulu, Pak Hamdani sering mengunjungi kami dan bahkan membawa bantuan dari program ‘Indonesia Menangis’. Kami selalu menyimpan ini sebagai kenangan dan tanda terima kasih kami yang telah membawa harapan di tengah keterpurukan,” ujar Yuli.

Mereka berdua berbagi cerita tentang keakraban mereka dengan Hamdani saat itu. Binar-binar kerinduan terpancar dari raut wajah dan mata mereka. Mereka menitipkan pesan, “Tolong sampaikan salam kami untuk Pak Hamdani,” kata Hamid. Kami pun menyanggupinya, lalu berpamitan dan bergegas pergi untuk bertemu Vidya di counter pulsa miliknya.

Bersambung.

Exit mobile version