Indeks

Krisis Lapangan Kerja: Sarjana Bersaing Jadi Sopir dan Security

Jakarta – Banyak lulusan sarjana (S1) di Indonesia kini harus banting setir menjadi asisten rumah tangga (ART), sopir, hingga petugas keamanan (security). Fenomena ini menjadi cerminan bahwa gelar akademis tak lagi menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan layak.

Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI), Ivan Taufiza, menyebut bahwa kondisi tersebut bukan hal baru. Ia bahkan mengaku telah menyaksikan fenomena serupa sejak awal kariernya di tahun 1995.

“Sebenarnya fenomena ini nggak baru di Indonesia. Jadi sejak saya pertama kerja tahun 1995, itu security saya S2. Serius nih, saya kerja di oil company itu security saya itu S2 lulusan sastra Inggris UGM,” kata Ivan.

Ivan menjelaskan bahwa ketidakseimbangan antara jumlah angkatan kerja (supply) dan kebutuhan tenaga kerja (demand) menjadi akar permasalahan. Ketimpangan ini menyebabkan ijazah sarjana hanya menjadi alat administrasi penyaring kandidat.

“Akar permasalahan itu bukan di ijazahnya laku atau nggak. Karena supply sama demand yang nggak seimbang. Jadi banyak supply-nya daripada demand-nya. Ijazah itu dipakai, saya bilangnya buat memotong kandidat,” papar Ivan.

Sebagai perbandingan, Ivan menyebut negara seperti Qatar yang memiliki demand tenaga kerja tinggi justru tidak terlalu memprioritaskan ijazah.

“Tapi kalau di negara-negara yang supply sama demand kerjanya terbalik, jadi saya ambil yang ekstrim di Qatar gitu ya, itu permintaan tenaga kerjanya jauh lebih tinggi daripada supply-nya. Dia nggak pengaruh-pengaruh amat ijazah. Karena yang penting ada orang yang mau kerja, bisa kerja, selesai,” sambungnya.

Di Indonesia sendiri, tren di beberapa perusahaan, terutama multinasional, menunjukkan bahwa syarat gelar sarjana mulai ditinggalkan. Perusahaan lebih memprioritaskan kemampuan dan kecocokan kerja.

“Bahkan perusahaan-perusahaan besar Fortune 500 itu sudah banyak sih yang dia nggak minta ijazah. Dia cuman butuh lulus tes saja jadi karyawan. Karena memang tadi bagi mereka yang penting fit dan bisa kerja,” terangnya.

“Saya nggak bilang ijazah akademis itu nggak penting, nggak. Tapi tadi, karena kondisi pasar yang tidak seimbang antara supply dengan demand tenaga kerja. Artinya kandidat perlu nilai tambah, nilai plus,” tegas Ivan.

Menurutnya, saat ini perusahaan lebih mencari kandidat dengan sertifikasi keahlian dibanding sekadar gelar akademis. Sertifikat menjadi bukti kemampuan teknis di bidang tertentu.

“Sebaiknya memang dimulailah ambil tadi ijazah atau sertifikat yang teknis, yang spesialis. Jadi misal yang tadi saya bilang yang namanya sertifikat untuk robotik gitu ya, sertifikat untuk coding. Nah, itu tetap laku kalau yang itu,” jelasnya.

Senada, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Noor Effendi, menyatakan bahwa minimnya lapangan kerja menjadi penyebab utama para sarjana terpaksa bekerja di sektor informal.

“Angkatan kerja yang berusaha masuk pasar kerja itu cukup tinggi. Menurut data BPS kira-kira bergerak 3 juta sampai 3,5 juta orang. Nah secara teoritis itu setiap ada pertumbuhan ekonomi 1% dapat menciptakan peluang kerja 200 sampai 300 ribu,” jelasnya.

“Kira-kira kalau pertumbuhan 5%, katakan saja lah kita memiliki 300 ribu setiap satu persen, hanya 1,5 juta lapangan kerja yang dibuka. Yang masuk ke pasar kerja kira-kira bergerak 3 juta sampai 3,5 juta, berarti kan ada orang yang tidak bisa masuk pasar kerja bergerak sampai 1 juta sampai 1,5 juta,” sambung Tadjudin.

Belum lagi, kata dia, ada pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan harus kembali mencari pekerjaan. Akibatnya, banyak yang terpaksa masuk sektor informal, seperti sopir, ART, dan lainnya.

“Oleh karena itu menurut data sensus BPS 2025 angka pekerja sektor formal 40%, sektor informal kira-kira 60%. Jadi lebih banyak maksud sektor informal,” tegasnya.

Tadjudin menekankan pentingnya sertifikasi keahlian untuk memasuki pasar kerja. Sertifikasi menunjukkan keahlian nyata, bukan sekadar formalitas.

“Sertifikasi itu kan bukan menampakkan hanya kata-kata, tapi itu kan menunjukkan ada keahliannya. Skillnya Itu mempermudah juga mereka untuk masuk ke bidang-bidang yang dibutuhkan oleh perusahaan. Tidak hanya lantaran lulusan SMA, nggak ada skillnya itu, nggak ada nilai plusnya kan. Sarjana lulusan apa gitu nggak ada nilai plusnya,” terangnya.

Sayangnya, ia menyayangkan lembaga pelatihan dan sertifikasi keahlian di Indonesia belum berkembang secara memadai. Padahal, lembaga tersebut bisa menjadi solusi jangka panjang bagi pencari kerja.

“Tapi training itu yang juga belum berkembang. Karena tidak mudah juga membuat training. Karena membutuhkan dana yang cukup besar, terutama untuk memenuhi kebutuhan latihan. Ini kan dibutuhkan berbagai macam alat untuk menumbuhkan skill mereka,” katanya.

“Jadi kalau cuman katakan training tapi hanya membuat mur sama baut kan nggak ada gunanya. Harusnya kan yang benar-benar bermanfaat bagi pasar kerja,” ucap Tadjudin lagi.

Sumber : detik.com
Exit mobile version