Apam, Warisan Kuliner Pengikat Solidaritas dan Identitas Budaya

Zamanhuri
(Foto/ Steemet.com)

Tradisi kuliner memiliki peran penting dalam membentuk identitas budaya suatu masyarakat. Salah satu tradisi kuliner yang masih bertahan di Aceh hingga saat ini adalah tet apam. Apam adalah salah satu kue tradisional yang telah melegenda di Aceh. Tidak ada informasi pasti mengenai kapan kue ini pertama kali dibuat, namun berdasarkan berbagai sumber, apam telah ada sejak lama.

Bahan-bahan untuk membuat apam sangat sederhana, hanya terdiri dari tepung beras, santan, dan garam. Proses pengolahan bahan-bahan tersebut pun tergolong cukup mudah. Tepung beras dicampur dengan santan dan garam dalam takaran tertentu hingga menjadi adonan, kemudian dipanggang (ditet) dengan api kecil. Kuali panggangan diolesi sedikit minyak agar adonan mudah dilepas. Meskipun terlihat sederhana, proses tet apam membutuhkan keterampilan agar hasilnya tidak gosong.

Pembuatan kue apam biasanya dilakukan untuk acara hajatan, atau ketika ada kematian dan ziarah kubur. Pada era 1980-an, penulis sering melihat orang-orang yang menziarahi kubur membawa kue apam ke masjid pada Jumat pagi untuk dibagikan kepada jemaah dan masyarakat di sekitarnya. Pembagian kue apam dilakukan di balai yang ada di pekarangan masjid. Apam biasanya disajikan dengan kelapa parut yang telah digongseng bersama gula pasir atau gula merah. Namun, sebagian orang lebih suka menikmati apam hanya dengan menaburkan gula pasir di atasnya.

Tet Apam ketika ada kematian dilakukan oleh masyarakat Gampong atau tetangga secara sukarela dan bergotong royong. Tradisi ini dilakukan untuk meringankan beban keluarga yang sedang berduka. Apam disajikan sebagai hidangan kepada keluarga yang tertimpa musibah, orang-orang yang terlibat dalam proses penyelesaian fardhu kifayah, serta para tamu dan penziarah.

Tradisi Tet Apam bukanlah sebuah ritual khusus, meskipun dahulu ada sebagian orang yang menganggap bahwa Tet Apam yang dilakukan saat ada orang meninggal memiliki keterkaitan dengan “upacara pemakaman atau hal-hal yang berhubungan dengan mistis”. Lalu, mengapa Tet Apam dilakukan ketika ada yang meninggal? Jawabannya sederhana, apam sangat mudah diolah, dan bahan dasarnya pun sangat mudah didapatkan pada zaman dahulu, bahkan mungkin hampir di setiap rumah ada.

Selain apam, bu lukat (ketan) juga sering dijadikan sebagai alternatif olahan oleh masyarakat Aceh sebagai pengganti. Alasannya pun sama, karena bahannya mudah didapatkan kala itu. Hal ini tentu sangat berbeda dengan zaman sekarang, di mana semuanya dapat diperoleh secara instan di warung-warung dan toko.

Di tengah arus modernisasi yang semakin kuat, mempertahankan tradisi seperti tet apam menjadi tantangan tersendiri. Aktivitas dan kesibukan yang semakin tinggi membuat banyak orang sulit meluangkan waktu. Gaya hidup serba instan dan praktis juga menyebabkan tradisi-tradisi lama, termasuk tet apam, mulai ditinggalkan, terutama di daerah perkotaan, di mana segala kebutuhan kini dapat dengan mudah diperoleh tanpa perlu diolah sendiri. Akibatnya, nilai-nilai kebersamaan dan sosial semakin tergerus.

Meski demikian, di beberapa daerah tertentu, khususnya di Gampong, tradisi tet apam masih dijaga dengan baik. Mereka percaya bahwa mempertahankan tradisi ini adalah bentuk menjaga warisan leluhur. Bagi mereka, tet apam tidak hanya sekadar tradisi kuliner, melainkan simbol dari kuatnya ikatan sosial.

Dalam setiap prosesnya, tradisi tet apam memperlihatkan bagaimana solidaritas dan empati antarwarga terwujud secara nyata. Ketika ada keluarga yang berduka, para tetangga hingga kerabat jauh berkumpul untuk membantu dalam segala hal, termasuk menyiapkan makanan seperti apam.

Tradisi ini tentunya mengandung nilai-nilai luhur yang kuat. Dengan bergotong royong, beban yang ditanggung pada hari kematian terasa lebih ringan. Hal ini menunjukkan bahwa apam telah melampaui sekadar makanan sehari-hari. Kehadirannya dalam berbagai momen penting dalam kehidupan masyarakat Aceh memperlihatkan betapa mendalamnya keterikatan budaya dengan kuliner lokal ini. Karenanya, upaya pelestarian dan revitalisasi tradisi ini sangat penting bagi masyarakat Aceh.

Mengadakan acara budaya seperti Festival Tet Apam adalah salah satu langkah konkret untuk memastikan tradisi ini tidak hilang ditelan zaman. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah dipandang sangat penting. Apam bukan sekadar sepotong kue, melainkan cerminan cara hidup masyarakat Aceh, bagaimana mereka menghadapi kehidupan bersama, dalam suka maupun duka. Pengganan sederhana ini mengandung makna yang mendalam, mencerminkan kekuatan ikatan sosial dan nilai-nilai kebersamaan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.[]

Penulis : Zamanhuri

Ikuti notula.news di Google Berita untuk update informasi lebih mudah dan nyaman. Klik di sini

Jasa Buat Web by Altekno Digital Multimedia