News  

Konflik Manusia-Gajah di Blang Pante Aceh Utara Terus Meningkat, BKSDA Mengajak Upaya Penyelamatan

Zamanhuri
Kepala Resort 12 Aceh Utara, SKW 1, BKSDA Aceh, Nurdin, memantau jejak Gajah di Alue Kajeung Blang Pante, Senin (21/8/2023), (Foto: Notula/ Zamanhuri)

Aceh Utara – Konflik antara gajah dan masyarakat di wilayah Blang Pante Paya Bakong, Aceh Utara, terus memanas. Kepala Resort 12 Aceh Utara SKW 1, BKSDA Aceh, Nurdin, saat turun langsung ke lokasi, Senin (21/8/2023), menyatakan, bahwa konflik ini bukanlah hal baru; telah berlangsung selama lebih dari lima tahun dan intensitasnya semakin meningkat.

Menurut Nurdin, salah satu penyebab meningkatnya konflik ini adalah akibat pembukaan lahan, baik dalam skala kecil maupun besar, serta aktivitas pembukaan jalur menuju makam Cut Mutia. Rekaman GPS yang dipasang pada tahun 2016 dan dibuka pada tahun 2019 menunjukkan bahwa gajah-gajah ini terakhir kali terdeteksi di Alue Kajeung.

“Titik perjalanan mereka dimulai dari Langkahan dan berakhir di sini. Selama ini, mereka menetap di sini karena ada aktivitas di jalur pembukaan jalan menuju makam Cut Mutia. Di area tersebut banyak aktivitas, termasuk pembukaan jalan dan pembukaan kebun. Oleh karena itu, gajah-gajah ini menetap di Blang Pante,” ungkap Nurdin.

Meskipun ada kelompok masyarakat yang telah dibentuk bersama AGC, upaya mereka belum membuahkan hasil, meskipun mereka telah bekerja dengan sangat efektif. Nurdin menduga bahwa ketidakberanian mereka dipengaruhi oleh tidak dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) oleh pihak Kabupaten. Upaya yang dilakukan selama ini oleh BKSDA dan kelompok masyarakat hanya berupa bantuan mercon dan edukasi.

Nurdin juga mencatat terkait dengan Conservation Response Unit (CRU), belum ada kehadiran mereka di lapangan. “Terkait CRU, selama ini mereka juga tidak pernah turun ke lapangan. Informasi dari pihak pemerintah desa di sini tidak mendapat respon, bahkan nomor teleponnya tidak aktif,” sebut Nurdin.

Dia mengajak masyarakat dan media untuk mendukung usaha penyelamatan masyarakat Blang Pante, baik melalui pemasangan
power fancing atau pendekatan lainnya. Ia menyarankan agar tokoh masyarakat dan pemerintah desa berkolaborasi dengan camat untuk mengkomunikasikan aspirasi masyarakat ke tingkat kabupaten dan meminta dukungan dari provinsi.

“Penanganan satwa ini merupakan kewenangan provinsi, tetapi terkait hutan, semua harus melalui rekomendasi kabupaten,” ungkap Nurdin.

Dia menjelaskan bahwa saat ini jumlah gajah di Blang Pante sulit diprediksi; mereka sering terlihat dalam kelompok kecil yang terpecah-pecah, dengan jumlah berkisar antara 5 hingga 15 ekor. Secara keseluruhan, diperkirakan ada sekitar 70 ekor gajah yang menjelajahi kawasan dari Langkahan sampai Alue Kajeung di Blang Pante.

“Gajah-gajah ini berkelompok dengan anggota kelompok yang bervariasi, mulai dari 1 hingga sekitar 30 ekor. Mereka juga memiliki banyak anak,” tambah Nurdin.

Konflik antara manusia dan gajah di Blang Pante merupakan tantangan serius yang memerlukan kerja sama erat antara masyarakat, pemerintah, dan organisasi konservasi untuk mencari solusi berkelanjutan. []

Penulis : Zamanhuri

Ikuti notula.news di Google Berita untuk update informasi lebih mudah dan nyaman. Klik di sini

Jasa Buat Web by Altekno Digital Multimedia