Opini  

ATJEH : Arab, Turkey, Jaman, Eropa, Hindia

Riza
Abu Siwah
Abu Siwah.

Oleh : Abu Siwah

“Satu sejarah akan menyingkap kejadian yang sebenarnya, dengan syarat, ada tahun kejadiannya, pelaku dan tempat terjadinya.”

Awal masuknya rombongan para penyebar Islam ke Peureulak pada abad ke-7 masa kekhalifahan Usman bin Affan, dengan sebuah kapal yang dinakhodai oleh Said Ali Addiba’i. “Nakhoda Khalifah” yang berlabuh di Pelabuhan Bandar Khalifah Peureulak, mereka terdiri dari keturunan “Biek-nasab” Arab, Turki, Jaman-yaman, Hindi-India, cikal bakal garis keturunan yang mempengaruhi mayoritas masyarakat “Pulau Ruja”, sebutan untuk Pulau Sumatera “Tempoe Doeloe.”

Kalau kita lihat dari nasab-biek “Keturunan” pada catatan sejarah di atas, masih kurang lengkap, yaitu tidak adanya keturunan-biek Eropa, sejak kapan keturunan Eropa mempengaruhi nasab masyarakat Pulau Ruja.

Yaitu pada masa Portugis menyerang malaka, orang-orang Portugis banyak yang melahirkan keturunan di daerah pesisir Pulau Ruja tepatnya di daerah Lamno.

“Keturunan si mata biru“, di situ awal mula terjadinya perkawinan silang antara penduduk dengan orang luar Pulau Ruja khususnya orang Eropa. Percampuran biek-nasab asli penduduk Pulau Ruja ini terus berkelanjutan seiring dengan perjalanan sejarah kesultanan Atjeh.

Khususnya pada masa pemerintahan “PARA SYARIF” buku Seulawah antologi sastra Aceh halaman 511.

Telah terjadi perseteruan “Perang saudara” tahun 1703 Masehi, antara dua orang sepupuan anak dari pada Sultanah-sultanah kesultanan Atjeh.

Perebutan kekuasaan antara Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui dan sepupunya Sultan Perkasa Alam Badrul Munir Muhammad Jamalullail “Muhammad Jam” namanya diabadikan pada salah jalan di Koeta Radja.

Muhammad Jamalullail menyewa 1000 pengawal bangsa asing, yang sebagian besar di antara mereka lelaki bukan muslim, dari kejadian ini pula para pengawal-pengawal bangsa asing itu mendirikan rumah-rumah ibadah agama kepercayaan mereka di seputaran “Koeta Radja”, Banda Aceh sekarang, seperti gereja, vihara dan lain sebagainya. Di antara mereka pun ada yang melangsungkan perkawinan dengan putri-putri Atjeh pada masa itu, hingga telah melahirkan garis keturunan biek seribu pengawal bangsa asing.

Lalu terjadi pula percampuran nasab penduduk asli Pulau Ruja ini pada masa penjajahan belanda, melalui pasukan khusus Belanda “Marsose”, yang terdiri dari tentara-tentara bayaran Jawa, Bugis-Makasar, Ambon, Padang dan lain-lain. Juga di antara mereka melangsungkan perkawinan dengan putri-putri Atjeh. Juga terjadi perkawinan silang pada masa DI/TII 20 September 1953, dengan tokoh terkenalnya Daud Beureu’eih.

Banyak pasukan-tentara BKO dari luar yang dikirim oleh pusat untuk menghalau pergerakan DI/TII ini, juga terjadi hal yang sama yaitu perkawinan silang. Demikian juga masa AM, dan GAM.

Saat ini generasi yang bukan nasab-biek asli Atjeh saat ini mereka telah dewasa, dan yang terakhir pada masa gempa dahsyat dan tsunami, banyak pekerja sosial melalui NGO maupun mandiri, mereka membantu meringankan beban masyarakat Atjeh pada masa sulit tersebut, siapa yang bisa menjamin tidak terjadi perkawinan-perkawinan silang tersebut.

Hingga melahirkan generasi-generasi yang tidak lagi asli berdarah Indatu ureung Atjeh.

Apakah yang dimaksud oleh “APA” biek rhah pingan itu dinisbatkan kepada mereka..?

Tentang Penulis:

Abu Taufik Akbar adalah pendiri sekaligus Pendekar Utama Perguruan Pencak Silat Siwah. Beliau lahir di Sigli (Aceh Pidie) 7 Mei 1972, kini bertempat tinggal di Kota Lhokseumawe.

Penulis : Abu Siwah

Konten ini merupakan buatan pengguna dan tidak mencerminkan pandangan redaksi.

Ikuti notula.news di Google Berita untuk update informasi lebih mudah dan nyaman. Klik di sini

Jasa Buat Web by Altekno Digital Multimedia