Di Sekumur yang Tersisa Puing, Ketegaran Kak Na Akhirnya Runtuh

Bung TMR

KAMPUNG Sekumur tak lagi mengenal pagi sebagaimana dulu. Yang tersisa hanyalah bau lumpur yang mengering, kayu-kayu gelondongan yang terdampar seperti bangkai raksasa, dan sunyi yang memantul dari puing-puing rumah. Di tengah lanskap yang porak-poranda itu, sebuah masjid berdiri sendiri—kokoh, seakan menjadi penanda bahwa doa masih berdiam di tempat ini.

Di kampung itulah, pada Jumat (18/12/2025), ketegaran seorang perempuan akhirnya runtuh.

Sejak banjir, longsor, dan banjir bandang melanda 18 kabupaten dan kota di Aceh pada 25 November lalu, Marlina Muzakir yang lebih akrab disapa Kak Na menjadikan dirinya kaki yang terus berjalan. Siang dan malam tak lagi dibedakan. Ia menyeberangi sungai, menyusuri jalan berlumpur, bahkan mengudara dengan helikopter demi menemui warga yang terisolasi. Bantuan ia antar, luka batin ia peluk, sementara air mata ia simpan rapat-rapat di balik senyum.

“Sebagai pimpinan, kita harus terlihat kuat,” pernah katanya. Datang bukan hanya membawa logistik, melainkan juga empati dan optimisme.

Namun Sekumur terlalu jujur untuk dibohongi oleh ketegaran.

Di kampung kecil di Kecamatan Sekrak itu, kehancuran tampil tanpa basa-basi. Rumah-rumah hilang seolah tak pernah ada. Tanah tak lagi menyimpan jejak kehidupan, selain puing yang disulap menjadi pondok-pondok darurat. Anak-anak bermain di ruang sempit, tertawa yang terdengar rapuh, seperti sewaktu-waktu bisa runtuh bersama kenangan mereka.

“Hancur total. Hanya masjid yang masih berdiri,” ucap Kak Na pelan. “Saya tak sanggup membayangkan bagaimana warga menjalani hari-hari mereka di sini.”

Kalimat itu tak selesai di tenggorokan. Tangisnya pecah. Air mata yang selama ini ditahan, jatuh di Sekumur—kampung yang seolah memanggilnya untuk ikut berduka.

Tangis itu singkat. Seperti hujan yang cepat reda, Kak Na mengusap wajahnya dan kembali berdiri. Kepada warga, ia hadir lagi dengan senyum. Kepada anak-anak, ia membagikan biskuit di halaman masjid—satu-satunya ruang yang masih lapang untuk berharap.

Menjelang Magrib, rombongan hendak menyeberangi Sungai Simpang Kanan. Langkah Kak Na terhenti oleh lantunan ayat suci. Suara itu datang dari Sariah, 58 tahun, yang duduk di dekat pondok kecil berukuran 2×2 meter rumah barunya, dirakit dari kayu sisa banjir bandang.

Sariah kehilangan rumah, tapi tidak kehilangan suaranya untuk berdoa. Seluruh keluarganya selamat, namun tempat pulang mereka lenyap tanpa bekas. Di atas bekas rumahnya, kini bertumpuk kayu gelondongan—seperti nisan bagi ratusan rumah warga Sekumur.

Kak Na duduk sejenak, menyemangati Sariah. Tak banyak kata yang dibutuhkan. Dalam bencana, kehadiran sering kali lebih fasih daripada nasihat.

Menurut Sekretaris Desa Kampung Sekumur, M. Saiful Juari, kampung ini dihuni sekitar 260 kepala keluarga atau sekitar 1.200 jiwa. Hampir semuanya terdampak. Hampir semuanya kehilangan.

Sebelum tiba di Sekumur, Kak Na dan rombongan singgah di Posko Kampung Pulau Tiga, Kecamatan Tamiang Hulu, lalu melanjutkan perjalanan ke sejumlah posko di Kampung Babo, Kecamatan Bandar Pusaka. Di setiap tempat, satu hal selalu ia tanyakan: obat-obatan. Banjir tak hanya merobohkan rumah, tetapi juga merendam puskesmas dan pustu—meninggalkan tubuh-tubuh rentan tanpa perlindungan.

Sekumur mungkin telah hancur. Namun di antara puing dan lumpur, tangis yang pecah hari itu justru menegaskan satu hal: kemanusiaan belum runtuh. Selama masih ada yang datang, mendengar, dan ikut menangis—harapan, betapapun kecilnya, masih menemukan tempat untuk tumbuh.[]