Sejemput Asa Anak Pedalaman di Hari Anak: Bukan Sekadar Hari, Tapi Suara yang Perlu Didengar

redaksi

Oleh: Muhammad Munir An-Nabawi, M.Psi., dosen IAIN Lhokseumawe.


Setiap tanggal 23 Juli, bangsa ini memperingati Hari Anak Nasional, sebuah momentum penting untuk mengakui hak, suara, dan potensi setiap anak Indonesia. Di kota-kota besar, peringatan ini dirayakan dengan gegap gempita, panggung megah, sorotan kamera, gelak tawa anak-anak, dan deretan kegiatan seremonial yang mengusung tema optimisme dan harapan.

Namun, di balik kemeriahan itu, masih ada jutaan anak yang merayakan Hari Anak Nasional dalam diam. Mereka tinggal jauh dari keramaian kota, di pedalaman, daerah tertinggal, terisolir, kawasan perbatasan, dan pulau-pulau terpencil. Mereka tidak memiliki panggung untuk menyuarakan harapan, bahkan tak jarang tidak tahu bahwa hari itu seharusnya adalah hari mereka.

Ketimpangan yang Tak Terlihat

Anak-anak dari pelosok negeri tumbuh jauh dari fasilitas yang semestinya menjadi hak mereka sejak lahir. Pendidikan yang layak masih menjadi impian yang sulit dijangkau. Akses terhadap layanan kesehatan pun sangat terbatas, membuat mereka rentan terhadap penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Dalam kondisi seperti itu, mereka sering kali hanya mengandalkan alam dan pengetahuan turun-temurun sebagai “tenaga kesehatan“. Hal-hal yang dianggap biasa di kota seperti Smartphone, buku, sekolah yang layak, dan jaringan internet menjadi barang mewah yang langka di bagi mereka.

Anak-anak harus menempuh perjalanan berkilo-kilometer setiap hari untuk bisa bersekolah. Ada yang menyusuri sungai dengan perahu kecil, mendaki bukit terjal, hingga berjalan kaki melintasi gunung, bukit, hutan atau sawah. Perjuangan ini tidak berhenti saat mereka sampai di sekolah. Fasilitas yang mereka temui pun jauh dari kata layak. Ruang kelas reyot, papan tulis yang hampir tak bisa digunakan, dan guru yang kadang hanya datang seminggu sekali. Namun, semua keterbatasan itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap datang dan belajar.

Kita sering lupa, bahwa di tengah kondisi yang serba terbatas, anak-anak ini tetap bermimpi besar. Mereka belajar bukan karena diwajibkan, tetapi karena berharap pada perubahan. Mereka ingin masa depan yang lebih baik, untuk diri mereka, keluarga, dan desanya. Oleh karena itu, perhatian dan keberpihakan nyata dari semua pihak sangat dibutuhkan, bukan sekadar belas kasihan, tapi komitmen untuk menghadirkan keadilan dalam akses pendidikan dan kehidupan yang layak bagi setiap anak Indonesia, di mana pun mereka berada

Bukan Kurang Potensi, Hanya Kurang Kesempatan

Anak-anak dari daerah terpencil seolah berada di garis belakang dalam segala hal: capaian akademik, partisipasi pendidikan, hingga angka gizi dan kesehatan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah: mereka bukan anak-anak yang kurang potensi, mereka hanya kurang kesempatan.

Potensi mereka sama besarnya dengan anak-anak di kota. Kecerdasan mereka tak kalah. Daya juang mereka bahkan sering kali jauh lebih kuat. Tapi dalam dunia yang belum memberikan akses yang adil, potensi itu terpaksa tertahan, tak bisa berkembang secara optimal. Dan ketika kita bicara tentang masa depan bangsa, potensi yang tertahan itu bukan hanya kerugian individu, tapi kerugian kolektif kita semua sebagai bangsa.

Ketika kita bicara tentang masa depan bangsa, kita tidak bisa mengabaikan potensi yang tertahan itu. Sebab kehilangan satu potensi anak bangsa, berarti kita kehilangan satu pilar masa depan. Jika dibiarkan terus, ini bukan hanya menjadi kerugian pribadi bagi anak-anak di pelosok, tapi kerugian kolektif bagi kita semua sebagai negara. Memberi mereka kesempatan bukanlah tindakan belas kasih, itu adalah kewajiban untuk keadilan dan kemajuan bersama

 Asa yang Tak Pernah Padam

Meski hidup dalam keterbatasan, bukan berarti mereka miskin harapan. Justru dari daerah-daerah seperti inilah, kita sering melihat anak-anak dengan semangat belajar yang luar biasa. Mereka tidak menyerah, tidak meminta banyak, hanya ingin diberi kesempatan-kesempatan untuk mengubah hidup mereka lewat pendidikan, kesempatan untuk bisa bermimpi besar seperti anak-anak lain. Asa mereka sederhana, namun mendalam,  bisa membaca tanpa harus meminjam buku jauh ke kota, bisa belajar tanpa harus takut atap sekolah roboh, dan bisa meraih masa depan tanpa harus pergi jauh meninggalkan tanah kelahiran karena keterpaksaan.

Anak-anak di daerah pedalaman tidak meminta lahir di tengah keterbatasan. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang kerap kali minim fasilitas pendidikan, jalan yang sulit dilalui, hingga keterbatasan tenaga pengajar. Tidak sedikit dari mereka yang harus berjalan berkilo-kilometer, menyusuri sungai atau bukit, hanya untuk bisa duduk di bangku sekolah. Sementara di kota besar orang tua sibuk memilih les terbaik untuk anaknya, anak-anak ini justru bertanya-tanya, “Apakah hari ini guru datang?” atau “Apakah sekolah masih berdiri setelah hujan semalam?”

Membuka Akses, Mewujudkan Janji

Lantas, apa yang bisa dilakukan? Jawabannya bukan sekadar menyalahkan ketimpangan, tetapi mendorong solusi yang terarah dan berkelanjutan. Pemerintah pusat dan daerah harus memiliki keberpihakan yang jelas terhadap anak-anak dari wilayah tertinggal. Ini bisa diwujudkan melalui: Peningkatan infrastruktur dasar: pembangunan sekolah yang layak, jalan yang memudahkan akses ke pusat pendidikan dan kesehatan. Distribusi tenaga pengajar dan tenaga kesehatan yang adil: dengan insentif yang memadai untuk mereka yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil. Program afirmatif untuk anak-anak dari keluarga miskin dan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), baik dalam bentuk beasiswa, pelatihan, maupun fasilitas belajar tambahan. Pemberdayaan komunitas lokal agar menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penerima bantuan. Lebih dari itu, perlu perubahan cara pandang. Anak-anak dari pelosok negeri bukan beban yang harus “ditolong”, melainkan aset yang harus diberdayakan. Mereka bukan objek dari belas kasihan, tapi subjek dari harapan bangsa.

Dari Pedalaman, Mimpi Itu Tetap Menyala

Mungkin suara mereka tak sampai ke media. Mungkin kisah mereka tak viral di media sosial. Tapi setiap langkah kaki mereka menuju sekolah, setiap halaman buku yang mereka baca, dan setiap mimpi yang mereka simpan diam-diam di hati, semuanya adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Mereka tidak menyerah. Dan itu alasan yang cukup bagi kita semua untuk tidak tinggal diam. Hari Anak Nasional seharusnya menjadi panggung juga bagi mereka. Bukan hanya anak-anak yang terlihat di kota, tapi juga mereka yang selama ini tak terdengar dari pelosok negeri

Anak pedalaman tidak butuh dikasihani. Mereka butuh didengar, dilibatkan, dan didukung. Karena pada dasarnya, potensi mereka tidak kalah hebat dari anak-anak di pusat kota. Hanya saja, akses dan kesempatan belum berpihak adil. Di Hari Anak ini, mari kita buka mata lebih lebar dan telinga lebih peka. Jangan biarkan suara anak-anak pedalaman hanya menjadi gema yang tak sampai ke ruang pengambilan keputusan. Sebab mereka bukan anak-anak yang tertinggal karena tak mampu, mereka hanya belum diberi ruang untuk melaju.

Penulis : Muhammad Munir An-Nabawi, M.Psi.

Konten ini merupakan buatan pengguna dan tidak mencerminkan pandangan redaksi.
Jasa Buat Web by Altekno Digital Multimedia