Singapura – Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan UIN Sultanah Nahrasiyah (UIN SUNA) Lhokseumawe, Baiquni, M.A., Ph.D, menjadi salah satu perwakilan Indonesia dalam ajang bergengsi 20th Singapore Graduate Forum on Southeast Asian Studies yang digelar oleh Asia Research Institute (ARI), National University of Singapore (NUS), pada 16–27 Juni 2025.
Dalam forum tersebut, Baiquni mempresentasikan hasil risetnya yang berjudul “Makna Perang Sabil Teungku Kuta Karang sebagai Kritik terhadap Tatanan Dunia Eurosentris pada Akhir Abad ke-19.”
Forum tahunan ini merupakan program fellowship unggulan dari ARI yang telah diselenggarakan selama dua dekade, dan mempertemukan peneliti muda dari berbagai negara seperti Indonesia, Thailand, Jepang, India, Australia, Filipina, Cina, Sri Lanka hingga Amerika Serikat.
“Sekitar 200 pendaftar hanya 50 peserta yang dinyatakan lolos seleksi abstrak penelitian. Selanjutnya peserta diharuskan mengumpulkan 4000-5000 kata artikel untuk paparkan tulisan,” jelas Baiquni.
Penyelenggaraan forum dilakukan dalam format hybrid, di mana minggu pertama dilaksanakan secara daring dan minggu kedua digelar secara luring langsung di kampus NUS, Singapura.
Selama dua pekan penuh, peserta tak hanya mempresentasikan riset interdisipliner mereka terkait studi Asia Tenggara, tetapi juga terlibat dalam serangkaian masterclass yang membahas metode riset terkini. Salah satu kelas yang menonjol mengulas bagaimana teknologi Artificial Intelligence (AI) versi lokal digunakan untuk menganalisis data kualitatif dalam studi humaniora digital secara kuantitatif.
Dalam sesi panel, para peserta dibagi berdasarkan tema penelitian masing-masing dan setiap pemaparan mendapatkan masukan dari pakar dan peneliti lain. Diskusi ini menjadi forum ilmiah yang memperkaya perspektif riset serta mendorong lahirnya pendekatan-pendekatan inovatif yang jarang muncul dalam forum akademik konvensional.
“Bagi saya, forum ini tidak hanya wadah untuk memaparkan hasil penelitian, tetapi juga kesempatan emas untuk membangun jejaring dengan peneliti global. Interaksi dengan peserta dari latar belakang budaya dan disiplin ilmu beragam memberikan wawasan baru tentang dinamika sejarah, politik, dan budaya Asia Tenggara yang kompleks.” tuturnya.
Dengan kombinasi antara presentasi riset, kelas metode, dan diskusi kritis, forum ini berhasil menciptakan ekosistem kolaboratif yang mendorong peneliti muda untuk memandang Asia Tenggara secara transnasional dan kritis, jauh dari narasi Eurosentris yang selama ini mendominasi.
Baiquni berharap keikutsertaannya menjadi pengalaman akademik yang tak ternilai sekaligus pengingat bahwa studi Asia Tenggara harus dikembangkan dengan pendekatan inklusif dan reflektif.
Ikuti notula.news di Google Berita untuk update informasi lebih mudah dan nyaman. Klik di sini