News  

Ratep Mensa, Gema Zikir dari Beutong yang Menantang Arus Zaman

Zamanhuri
Foto/ Ist

Aceh – Modernisasi yang kian masif telah membawa dampak pada pelestarian budaya lokal. Di Aceh, salah satu tradisi yang nyaris punah adalah Ratep Mensa, zikir berjamaah yang menjadi ciri khas masyarakat barat selatan Aceh dan biasanya dilaksanakan menjelang Hari Raya Idulfitri.

Tradisi ini dilakukan oleh para pria dewasa dan pemuda, yang berdiri dalam saf sambil bersilang tangan (meulhoek jaroe), saling berhadapan mengikuti pola formasi yang berubah seirama dengan lantunan zikir. Dipandu oleh seorang syekh atau tokoh agama, Ratep Mensa menjadi perwujudan kekhusyukan spiritual sekaligus pertunjukan budaya yang unik.

Dalam suasana penuh hikmat, para peserta melantunkan shalawat dan puji-pujian kepada Allah Swt., diiringi hentakan kaki yang mengguncang lantai meunasah hingga malam larut. Getaran dan suara yang ditimbulkan menambah atmosfer sakral dan meninggalkan kesan mendalam bagi siapa pun yang menyaksikan.

Sayangnya, seiring perubahan zaman, tradisi ini mulai langka dan kini hanya hidup di segelintir wilayah yang masih kuat mempertahankan akar budaya mereka. Salah satunya adalah Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang di Kabupaten Nagan Raya, yang secara konsisten menggelar Ratep Mensa setiap menjelang Idulfitri.

Menurut Tgk. Malikul Mahdi, tokoh muda Beutong Ateuh dan putra ulama kharismatik Tgk. Bantaqiah, pelaksanaan Ratep Mensa di wilayahnya biasa dimulai pada malam takbiran, bahkan ada kalanya sejak malam ke-27 Ramadan setelah tarawih.

“Kami mengadakannya secara bergiliran antar-gampong, selama tujuh malam berturut-turut sesuai kesepakatan bersama. Tahun ini digelar di Gampong Kuta Teungoeh,” ujarnya pada Senin, 14 April 2025.

Tradisi dimulai dengan pembakaran kemenyan untuk menciptakan aroma harum, tanpa unsur mistik.
“Karena tidak ada gaharu di daerah kami, maka digunakan kemenyan yang pohonnya banyak tumbuh di hutan Beutong,” katanya lagi. Biasanya yang memimpin acara adalah kakaknya, Tgk. Malikul Azis.

Bagi warga Beutong, Ratep Mensa adalah simbol solidaritas, spiritualitas, dan identitas budaya. Tradisi ini menjadi medium untuk menghayati nilai-nilai keagamaan melalui gerakan ritmis, syair zikir yang menggema, dan kekuatan vokal kolektif.

“Tujuan utamanya adalah mendekatkan diri kepada Allah, mencapai syuhud, serta merasakan kenikmatan zikir yang membebaskan dari keterikatan duniawi,” jelas Tgk. Malikul Mahdi.

Ia menambahkan bahwa zikir massal ini juga memperkuat ikatan antarwarga. Proses persiapan yang melibatkan seluruh komunitas menumbuhkan semangat gotong royong dan mempererat hubungan sosial antar-gampong.

Syair-syair dalam Ratep Mensa, yang menggunakan bahasa Arab dan Aceh, sarat dengan pesan spiritual dan nilai-nilai tasawuf, serta semangat juang dalam mempertahankan iman seperti yang tergambar dalam syair Prang Sabi.

Salah satu bait yang dibacakan Tgk. Malikul Mahdi berbunyi:

“Ya Qahhar, Ya Qawiy, neupeutalo sitre nabi,
Kaphe benci keu Islam, neupekaram neucang mate.”

Dengan lantunan penuh penghayatan, syair ini mengajak pendengar menyelami makna hidup dan nilai-nilai spiritual yang mendalam.

Penutupan acara Ratep Mensa biasanya dirayakan dengan menyembelih kambing sebagai bentuk syukur, dilanjutkan kenduri yang mempererat kebersamaan.

“Tradisi ini semoga terus menjadi pengingat pentingnya merawat budaya di tengah tantangan zaman. Di dalamnya terkandung jati diri Aceh serta nilai-nilai universal tentang kemanusiaan dan solidaritas,” pungkasnya.

Pepatah Aceh pun mengingatkan, “Matee Aneuk meupat Jeurat, Matae Adat Pat tajak Mita” (Mati anak bisa dilacak kuburnya, tapi hilangnya adat sulit ditemukan kembali.)

Tradisi ini pernah vakum di Beutong, namun dihidupkan kembali oleh Tgk. Bantaqiah pada 1970-an.
“Beliau yang membawa Ratep Mensa ke Beutong. Sampai sekarang, kami terus melestarikannya,” tutup Tgk. Malikul Mahdi.

Penulis : Zamanhuri

Ikuti notula.news di Google Berita untuk update informasi lebih mudah dan nyaman. Klik di sini

Jasa Buat Web by Altekno Digital Multimedia