Pada Kamis, 14 Desember 2023, Notula.news, berkesempatan menemui kak Yuli, (46), yang menjadi viral dalam peristiwa gempa dan tsunami Aceh pada, Minggu 26 Desember 2004 dengan kisah “Maya Long.”
Saat tiba di kediamannya di Gampong Lancok Bayu, Kabupaten Aceh Utara, Yuli tidak ada di rumah. Kami bertemu dengan suaminya, Abdul Hamid (53), yang tengah menjaga warungnya di depan rumah. Hamid sekarang menjabat sebagai Kepala Dusun di Gampong tersebut.
Sebelum memulai pembicaraan, kami memesan mie Aceh dari Hamid untuk mengatasi rasa lapar. Sambil menunggu mie dimasak, kami berbincang santai tentang sepak bola dan isu-isu terkini. Hamid terlihat ramah dan sopan.
Pembicaraan kemudian beralih ke topik tsunami. Hamid menceritakan peristiwa tragis pagi itu dengan sederhana. Suasana berubah saat ia menyebut anak keduanya, Maya Aulia, korban tsunami yang meninggal pada usia 2 tahun 7 bulan, yang kemudian dikenal sebagai “Maya Long.”
Saat Hamid terlihat tertekan, kami mencoba mengalihkan pembicaraan ke topik lain untuk meringankan beban emosionalnya. Kami melanjutkan perbincangan tentang kehidupan, keluarga, dan isu-isu lain, menciptakan momen penghargaan terhadap kisah hidup yang berat yang telah dijalani Hamid.
Setelah momen yang penuh emosi itu, kami melanjutkan pembicaraan tentang kehidupan sehari-hari Hamid dan keluarganya. Dia dengan penuh kehangatan menceritakan kisah-kisah kecil yang membawa senyum di tengah kisah kesedihan yang pernah dialaminya.
Hamid bercerita tentang usaha warungnya dan keinginan untuk memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya yang masih hidup, Vidya Soraya, kakak dari Maya Aulia, dan adiknya yang lahir setelah tsunami, Alfat dan Ulfa. Kami berbagi cerita dan tawa ringan, mencoba meredakan atmosfer yang terbebani oleh kenangan tsunami.
Seiring berjalannya waktu, kami merasa Hamid semakin nyaman membuka diri. Kami pun memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dari kedatangan, dia menyambutnya dengan baik, dan semakin terbuka. Dia menceritakan upaya pemulihan mental dan fisik keluarganya setelah bencana tersebut, sambil sesekali mengulang kisah pahit itu.
Setelah menyajikan mie pesanan kami, Hamid dengan penuh detail menceritakan peristiwa tragis itu, sesekali menahan air matanya. “Pagi itu, saya pergi ke Pasar Bayu untuk belanja barang warung dan mengantar kakak Maya ke les bahasa Inggris. Meskipun Maya menangis ingin ikut, kami berdua berangkat dengan Vidya karena pertimbangan muatan belanjaan. Maya tinggal di rumah bersama ibunya,” ungkap Hamid.
Sambil kami berbicara, Yuli pulang, dan Hamid memperkenalkan kami pada istrinya. Yuli ikut berbagi cerita dengan ramahnya, ia mengatakan bahwa saat peristiwa itu terjadi, dia bersama Maya di rumah. “Saat gempa terjadi, kami keluar rumah dan melihat orang-orang berlarian. Kami pun ikut berlarian tanpa tahu pasti apa yang terjadi. Ketika itu saya mengira orang-orang berlarian karena insiden atau kontak senjata, mengingat Aceh dalam keadaan darurat militer kala itu,” sebut Yuli.
Ia mengisahkan, sebelum air laut naik, dirinya, Maya dan beberapa kerabat lainnya sempat berkumpul di balai pengajian sejenak, lantunan ayat-ayat suci Alquran dan zikir tak henti di mulut mereka. Tiba-tiba air laut naik, mereka berlarian mencari perlindungan. Maya digendong oleh Jufri, abang kak Yuli. Mereka terus berlarian, dan tiba-tiba hempasan gelombang tsunami semakin kuat. Yuli terhempas ke atas pohon bakau, dengan sekuat tenaga, ia meraih dan menaiki pohon yang lebih tinggi. Bersama seorang tetangganya. Yuli selamat di atas pohon bakau tersebut.
“Lon seulamat di peupoe le ie ateuh bak jampei, meunyoe na umu na cara geubri le Allah,” ujarnya dalam bahasa Aceh.
Dalam keadaan genting tersebut, kehebohan dan kepanikan terjadi di seluruh kawasan, termasuk Keude Bayu. Puing reruntuhan dan mayat bergelimpangan membuat warga semakin terperangah, tanpa pemahaman tentang bencana tsunami yang baru pertama kali mereka alami.
Hamid berkata, dirinya terguncang oleh keadaan tersebut, bergegas kembali ke desanya, lancok. Namun, di perjalanan, ia dihentikan oleh seorang marinir yang memberitahunya tentang musibah yang sedang terjadi. Hamid disarankan untuk tidak kembali ke desa karena situasi tidak memungkinkan, ia patuh pada saran tersebut. Dalam keputusasaan, ia mencoba mencari Yuli, Maya, dan keluarga lainnya di sekitar Gampong Gampong seputar Bayu, namun usahanya tidak membuahkan hasil.
Sementara itu, Yuli menceritakan pengalamannya. Berada di atas pohon bakau, ia melihat boet nelayan mulai mengevakuasi korban. Salah satu boet mendekat, dan yuli bersama para korban lainnya dievakuasi ke dalam boet tersebut. Menariknya, boet tersebut dinahkodai oleh Zul, abang kandung Yuli yang pertama.
Dia meneruskan ceritanya, menjelaskan bahwa boat yang dinahkodai oleh Zul kemungkinan milik nelayan yang biasa parkir di sungai Bayu kawasan TPI. Namun, Yuli tidak mengetahui pemilik sebenarnya. Keberanian dan jiwa kemanusiaan Zul membuatnya bergerak dengan cepat, mengambil inisiatif untuk menyelamatkan para korban yang terjebak dalam kepungan tsunami, membawa mereka ke tempat yang lebih aman. Tindakan tanpa pilih kasih Zul, yang menyelamatkan semua korban yang ditemuinya, bahkan bukan saudaranya, menjadi cahaya harapan di tengah kegelapan bencana.
Setelah tiba di tempat yang aman, Yuli merasa gelisah dan tidak sabar mencari suaminya, Hamid, Vidya, dan Maya. Dengan langkah hati-hati, dia menjelajahi beberapa desa, termasuk Merbo, Beunoet, dan Langa, tetapi usahanya terasa sia-sia. Keadaan saat itu sangat tegang dan segala sarana komunikasi terputus membuat pencarian semakin sulit.
Dengan tekad bulat, Yuli memutuskan untuk menuju puskesmas Bayu, berharap mendapatkan informasi tentang keluarganya. Di sana, dia mendengar kabar bahwa Maya berada di Rumah Sakit Cut Meutia, Buket Rata Lhoksemawe. Tanpa ragu, ia segera menumpangi ambulan yang membawa pasien tsunami ke rumah sakit tersebut.
Ketika tiba di rumah sakit, ia melihat suasana begitu penuh sesak dengan korban tsunami dan orang-orang yang mencari keluarganya. Dengan hati berdebar, Yuli menyusuri lorong-lorong rumah sakit, memeriksa kamar UGD dan lainnya yang mencurigakan. Meski mencoba ke kamar mayat, namun belum ada tanda-tanda Maya.
Dalam keputusasaan, Yuli terus mencari di sekitar rumah sakit. Akhirnya, dia melihat seorang ibu yang menggendong seorang anak kecil. Tanpa sadar, kata-kata spontan terucap dari bibir Yuli, “Itu anak saya, Maya.” Ibu tersebut dengan yakin mengklaim anak itu sebagai miliknya.
Terjadilah adegan dramatis ketika Yuli, sambil menangis histeris, berteriak berkali-kali, “Maya long, Maya long!” Kejadian itu tidak disadari oleh Yuli bahwa kamera wartawan tengah menyorotnya. Peristiwa yang menguras emosi ini kemudian menjadi viral setelah ditayangkan di TV Nasional, memperlihatkan ketegangan dan kekuatan seorang ibu dalam mencari keluarganya di tengah bencana tsunami Aceh.
Yuli, yang terpukul oleh situasi tragis itu, mengenang bagaimana Maya ditemukan. Setelah berdiskusi dengan ibu yang menggendong Maya dan menjelaskan tanda-tanda fisiknya, akhirnya, Maya diserahkan kepada Yuli. Dia mencoba merinci bahwa pada saat itu, ibu tersebut mungkin menganggap Maya sebagai anaknya, karena keadaan sangat kacau dan tertekan akibat tragedi tsunami. “Semua, bisa terjadi di tengah kekacauan seperti itu,” ujar Juli.
Beberapa jam berlalu, Yuli menerima informasi mengenai keselamatan suaminya dan Vidya dari orang-orang di sekitarnya. Dengan lega, ia mengetahui bahwa keduanya berada di Bayu. Tanpa ragu, Yuli merasa terpanggil untuk menuju Bayu dan memberi tahu bahwa Maya telah ditemukan, meskipun dalam keadaan tak bernyawa.
Tiba di ruang jenazah, Yuli dengan hati berat menatap Maya. Dengan penuh khidmat, ia berbicara kepada seseorang di ruangan itu yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. “Kak, saya titipkan Maya. Saya ingin memberitahu ayahnya bahwa Maya telah ditemukan,” ucap Yuli. Setelah memberikan pesan itu, Yuli keluar ruangan, berusaha mencari tumpangan untuk sampai ke Bayu.
Beberapa jam berlalu dalam usahanya mencari tumpangan, Yuli masih belum menemukan kendaraan yang bisa membawanya ke tujuan. Namun, saat keputusasaan hampir menyelimutinya, Hamid muncul. Mereka bergabung dan bersama-sama memulai proses pemulangan Maya.
Pada sore itu, langit yang awalnya mendung mulai menunjukkan sinar senja yang menggambarkan perpisahan yang sekaligus menjadi awal baru bagi Maya. Maya dikebumikan di Gampong Beunoet. Keluarga dan warga setempat menghantar Maya ke peristirahatan terakhirnya. Suasana haru terasa begitu kuat, dengan air mata yang mengalir deras dari mata mereka yang tak sanggup menahan kesedihan. Upacara kebumiannya diwarnai dengan doa-doa dan bacaan ayat suci yang melengkapi perjalanan Maya ke alam baka.
“Kuburan Maya di Gampong Beunoet, persis di Samping Dayah Darul Ulum, Waled Husaini,” sebut Hamid.
Bersambung.
Ikuti notula.news di Google Berita untuk update informasi lebih mudah dan nyaman. Klik di sini