Opini  

Aceh: Antara Waroeng Kupi, Musibah, Bencana dan Resonansi Sosial

redaksi

Oleh: Kamaruddin Hasan*


Secangkir kupi (kopi) di tengah gelap. Aceh selalu punya cara sendiri untuk bertahan. Ketika listrik padam, jaringan komunikasi terputus dan kecemasan menyelimuti rumah-rumah akibat bencana, masyarakat Aceh tidak sepenuhnya kehilangan arah. Di tengah gelap itu, secangkir kopi tetap mengepul.

Waroeng kupi yang dalam keseharian sering dianggap ruang santai dan obrolan ringan, berubah menjadi simpul kehidupan sosial. Mampu menyalakan kembali harapan, menyambung kabar dan merawat kewarasan kolektif.

Fenomena ini bukan kebetulan. Waroeng kupi di Aceh sebagai ruang sosial, publik yang telah lama beresonansi dengan kehidupan masyarakatnya. Dari diskusi politik, obrolan adat, hingga perbincangan agama dan ekonomi rakyat, semua menemukan tempatnya di meja-meja kayu yang sederhana. Saat bencana datang, resonansi sosial itu menguat, memantul dan menjelma menjadi daya lenting sosial yang nyata.

Dalam perspektif sosiologi perkotaan dan komunikasi sosial pembangunan, Waroeng Kupi menjadi infrastruktur sosial, infrastruktur tidak selalu berbentuk jalan, gedung, jaringan telekomunikasi atau jaringan listrik. Ada infrastruktur sosial, ruang, relasi dan praktik yang menopang keberlangsungan hidup masyarakat. Waroeng kupi di Aceh sebagai contoh paling nyata dari infrastruktur sosial tersebut.

Ketika badai, banjir, longsor atau pemadaman Listrik, kehilangan karingan HP yang mampu melumpuhkan sistem formal, waroeng kupi justru mengambil alih fungsi-fungsi penting tersebut; menjadi pusat informasi, tempat mengisi daya perangkat komunikasi, ruang kerja darurat, bahkan ruang belajar alternatif. Mahasiswa dan dosen menjalankan perkuliahan daring, pelajar mengerjakan tugas sekolah, jurnalis mengirim berita, dan warga mencari kabar keluarga, semuanya terjadi di ruang publik yang sama.

Dalam hal ini, boleh saja Negara absen sesaat, tetapi masyarakat Aceh tidak sepenuhnya rapuh. Hadir mekanisme bertahan yang lahir dari kebiasaan, kedekatan sosial dan kepercayaan bersama. Waroeng kupi menjadi bukti bahwa ketahanan sosial tidak selalu dibangun dari atas, melainkan tumbuh dari bawah dari praktik sehari-hari yang sering dianggap biasa saja.

Musibah bencana memiliki satu sifat yang paradoksal; menghancurkan, tetapi juga membuka. Dalam situasi darurat, identitas sosial yang biasanya kaku, usia, profesi, kelas ekonomi, bahkan status sosial menjadi cair. Di waroeng kupi, pejabat duduk berdampingan dengan buruh, dosen berbagi colokan listrik dengan mahsiswa, siswa SMA dan warga kota berbincang dengan pendatang tanpa canggung.

Realitas inilah yang disebut sebagai resonansi sosial dengan nilai kebersamaan, solidaritas dan empati yang dipantulkan secara kolektif. Resonansi ini tidak diciptakan secara instan saat bencana datang. Namun, akumulasi panjang dari budaya Aceh yang menjunjung tinggi musyawarah, kebersamaan, saling bantu dan penghormatan terhadap sesama. Resonansi sosial Masyarakat Aceh mampu mencairkan berbagai sekat.

Waroeng kupi mempercepat proses resonansi tersebut, menjadi ruang aman secara sosial dan emosional. Di sana, orang bukan hanya bertukar informasi, tetapi juga menyalurkan kecemasan, ketakutan dan harapan. Dalam obrolan ringan tentang cuaca, listrik atau kabar kampung halaman, terselip proses penyembuhan sosial yang sering luput dari perhatian kebijakan publik.

Aceh bukan wilayah yang asing dengan bencana. Tsunami 2004, konflik berkepanjangan, banjir, longsor dan badai tropis telah membentuk ingatan kolektif masyarakatnya. Ingatan ini membuat masyarakat Aceh memiliki sensitivitas tinggi terhadap krisis, sekaligus kemampuan beradaptasi yang kuat.

Dalam konteks ini, waroeng kupi berfungsi sebagai ruang penyimpanan ingatan sosial. Di sanalah pengalaman masa lalu dibicarakan, dibandingkan dan dimaknai ulang. Warga saling mengingatkan, saling menenangkan dan secara tidak langsung membangun narasi bersama tentang bagaimana menghadapi musibah.

Resonansi sosial yang lahir dari ingatan kolektif ini penting. Mampu mencegah kepanikan berlebihan, memperkuat solidaritas dan menjaga kohesi sosial. Ketika informasi resmi terlambat atau simpang siur, jaringan informal di waroeng kupi sering kali menjadi rujukan pertama yang dipercaya.

Masyarakat Aceh tidak memisahkan secara tegas antara ruang sosial, publik, emosional dan spiritual. Dalam obrolan di waroeng kupi, isu bencana sering dikaitkan dengan nilai keagamaan; ujian, musibah, kesabaran dan ikhtiar. Dimensi ini memberi makna pada penderitaan, sekaligus kekuatan untuk bertahan.

Kupi, dalam konteks ini, bukan sekadar minuman, menjadi medium perjumpaan, simbol ketenangan, dan sarana merawat hubungan sosial. Aroma kupi yang hangat di tengah gelap dan sunyi memiliki efek psikologis yang nyata; menenangkan, menguatkan dan menegaskan bahwa seseorang tidak sendirian menghadapi krisis.

Pengalaman Aceh menunjukkan bahwa penanganan bencana tidak cukup hanya mengandalkan infrastruktur fisik dan teknologi. Pemerintah perlu mengakui dan melibatkan infrastruktur sosial yang sudah hidup di tengah masyarakat. Waroeng kupi, meunasah dan ruang publik informal lainnya harus dipandang sebagai mitra strategis dalam komunikasi bencana.

Pendekatan yang inklusif dan berbasis budaya lokal akan membuat kebijakan lebih efektif dan diterima masyarakat. Alih-alih meminggirkan ruang-ruang informal, negara seharusnya belajar dari daya adaptif yang telah terbukti bekerja di lapangan.

Aceh antara waroeng kupi, resonansi sosial dan musibah bencana merupakan kisah tentang daya tahan manusia. Di tengah krisis, masyarakat Aceh menunjukkan bahwa solidaritas tidak selalu lahir dari pidato resmi atau instruksi birokrasi, melainkan dari kebiasaan berkumpul, berbagi dan saling mendengar.

Waroeng kupi mengajarkan bahwa ketahanan sosial dibangun dari relasi yang hangat, ruang yang inklusif dan kepercayaan bersama. Dalam secangkir kupi, Aceh merawat ingatan, harapan dan keberanian untuk terus bertahan dalam situasi dan kondisi apapun.

*Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unimal