Opini  

Kembali ke Negara Sebenarnya

redaksi

Oleh: Kamaruddin Hasan*


Tulisan opini ini merupakan refleksi dari beberapa opini beberapa tahun lalu tentang Menuju Negara Sebenarnya, Menuju Negara Manusia dengan Potensi Hati?, dan Hakikat Negara Manusia. Semestinya ada saat-saat tertentu dalam perjalanan sebuah negara bangsa untuk berhenti sejenak melakukan introspeksi, merenung, menatap lebih jauh ke belakang, dan bertanya dengan jujur: apakah negara masih seperti yang dicita-citakan atau justru tersesat dalam negara yang kita ciptakan sendiri? Negara macam apa yang sebenarnya sedang dijalani? Negara seperti apa yang semestinya diperjuangkan? Ada jarak yang semakin lebar antara negara yang sedang berjalan dengan negara yang diimpikan rakyat.

Memang salah satu hasil karya manusia Nusantara yang paling fundamental adalah negara. Negara menjadi pranata sebagai prestasi peradaban manusia Nusantara untuk tujuan fitrahnya: demi kebahagiaan dunia dan akhirat, melahirkan, menghidupkan, menjaga, dan menjalankan negara. Sebagai pranata dari hasil proses integrasi secara holistik dan komprehensif dari berbagai unsur: institusi, lembaga, konvensi, adat, tradisi, norma budaya, dan lain-lain. Negara ini disepakati untuk dijalankan dan diselenggarakan dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan, peradaban, kebersamaan, dan asas kedaulatan rakyat. Negara yang melindungi semua yang hidup di dalamnya, melindungi yang melahirkan dan menghidupkannya.

Tentu harapannya, negara yang memajukan kesejahteraan, mencerdaskan, serta peduli aktif dalam ketertiban dunia, perdamaian, dan keadilan. Negara yang besar ini dihuni oleh manusia-manusia yang melahirkannya dengan latar etnis, agama, suku, dan bangsa yang beragam. Sehingga sangat aneh ketika negara ini tidak memahami betul jati diri, identitas, dan akar budaya bangsanya, yang notabene negara dilahirkan, dihadirkan, dan dihidupkan oleh manusia-manusia hebat Nusantara. Kealpaan negara terhadap yang melahirkan, menghadirkan, dan menghidupkan memunculkan kekecewaan dan kehilangan kepercayaan. Suatu negara yang kehilangan kepercayaan rakyatnya hanya tinggal menunggu waktu kehancuran.

Negara tidak pernah dibangun hanya dengan deretan pasal, prosedur birokrasi, atau institusi formal. Negara hidup melalui denyut moral, kehendak kolektif, dan komitmen rakyatnya pada nilai-nilai yang diyakini sebagai dasar kebersamaan. Indonesia hari ini berada pada sebuah persimpangan; satu sisi memiliki energi demografi, kekayaan sumber daya, dan modal sosial yang besar; sisi lain menghadapi jurang kerentanan yang semakin lebar. Ketika kesenjangan sosial menajam, ketika kepercayaan publik terhadap institusi menurun, ketika hukum dipersepsikan tidak lagi berpihak pada kebenaran, muncul pertanyaan: apakah masih pantas negara ini diperjuangkan?

Berbagai pertanyaan muncul. Ini tidak lahir dari pesimisme, melainkan dari kecemasan rakyat yang rasional. Sebab negara hanya dapat bertahan bila terus-menerus memperbarui kontrak sosialnya dengan rakyat. Indonesia saat ini menunjukkan gejala bahwa kontrak itu rapuh. Rakyat merasakan ketidakpastian ekonomi, elite politik dianggap terlalu jauh dari persoalan rakyat, dan struktur sosial tampak membeku dalam stratifikasi yang tidak adil. Dalam kondisi seperti ini, refleksi tentang kembali ke negara sebenarnya bukan nostalgia romantik, tetapi upaya untuk memahami apa yang hilang, apa yang menyimpang, dan apa yang harus diperbaiki.

Negara yang retak di tengah kemajuan semu; Indonesia sering dipuji sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi stabil dan modernisasi yang cepat. Namun kemajuan yang tampak di permukaan sering kali menutupi luka-luka sosial yang dalam. Banyak keluarga yang bekerja keras setiap hari tetapi tetap miskin. Banyak anak muda yang berpendidikan namun tidak memperoleh pekerjaan yang layak. Banyak desa yang kaya sumber daya tetapi tertinggal karena pembangunan yang tidak merata. Ketika realitas-realitas ini berjalan bersamaan—kemajuan makro di satu sisi, tekanan mikro di sisi lain—hadirlah paradoks yang menyakitkan: negara ingin maju tanpa benar-benar menyejahterakan.

Di titik ini rakyat melihat negara seperti rumah besar yang berhias megah di luar, namun lampunya redup dan fondasinya rapuh. Rakyatnya bertahan dengan rasa cemas, sementara sebagian kecil menikmati kenyamanan berlebih. Fenomena ini membuat rakyat mempertanyakan legitimasi moral negara: apakah negara masih bekerja untuk semua atau hanya untuk sebagian? Ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak dijawab dengan kebijakan yang solutif, kepercayaan rakyat menurun. Turunnya kepercayaan menjadi awal kejatuhan negara, bukan hanya secara fisik melalui berbagai musibah bencana alam, melainkan secara fundamental: kejatuhan mental dan moral. Negara mulai kehilangan wibawa, kehilangan kehangatan, dan yang paling fatal, kehilangan makna.

Negara kehilangan makna; suatu bangsa dapat terus bertahan meskipun miskin materi, tetapi tidak akan bertahan lama bila kehilangan makna. Makna negara Indonesia terletak pada solidaritas, keberagaman, keadilan, musyawarah, dan gotong royong. Itulah alasan historis mengapa republik ini berdiri. Namun ketika kepentingan kelompok lebih dominan daripada kepentingan kolektif, ketika suara rakyat kalah oleh transaksi, ketika hukum tunduk pada kekuasaan, makna itu memudar bahkan hilang.

Sering terdengar istilah krisis kepemimpinan, krisis keadilan, atau krisis moral. Namun sejatinya yang dihadapi lebih dari sekadar krisis, yaitu erosi fundamental terhadap landasan filosofis negara. Erosi ini tidak selalu tampak dalam berita besar; hadir dalam hal-hal kecil yang terlihat setiap hari: pejabat yang tidak memberi teladan, birokrasi yang mempersulit, rakyat yang kehilangan kepercayaan untuk bersuara, atau anak-anak muda yang merasa negaranya tidak menyediakan masa depan.

Jika kondisi ini dibiarkan, negara hanya akan menjadi struktur administratif kosong tanpa jiwa. Kondisi inilah yang dimaksud sebagai berada di ambang kehancuran: kehilangan makna sehingga rakyat berhenti mempercayainya sebagai alat mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama.

Refleksi untuk kembali ke negara yang sebenarnya; kembali ke negara sebenarnya berarti kembali ke prinsip-prinsip elementer yang membuat Indonesia pernah menjadi simbol harapan. Negara yang melindungi, bukan menakut-nakuti; negara yang mendengar, bukan membungkam; negara yang merawat, bukan meninggalkan. Untuk kembali ke negara sebenarnya, minimal ada tiga refleksi besar yang harus dihidupkan kembali.

Menghidupkan kedaulatan moral negara; negara tidak akan pernah kuat bila moral pemimpin dan institusinya rapuh. Kedaulatan politik tidak ada artinya tanpa kedaulatan moral. Indonesia membutuhkan teladan, bukan hanya peraturan. Pemimpin yang jujur, birokrat yang bersih, penegak hukum yang adil, adalah simbol yang menciptakan legitimasi. Ketika moral negara bangkit, rakyat akan kembali percaya; hanya kepercayaanlah energi terbesar yang dapat dimiliki republik.

Membangun keadilan sebagai prioritas negara; tidak ada negara yang bertahan tanpa keadilan. Ketimpangan saat ini bukan semata masalah ekonomi, tetapi masalah rasa. Rasa diperlakukan tidak adil memicu kemarahan sosial yang mudah meledak. Keadilan harus menjadi inti dari semua kebijakan: mulai dari keadilan pendidikan, keadilan kesehatan, keadilan ekonomi, keadilan hukum, keadilan sosial, adat budaya, keadilan pangan, dan lainnya. Negara yang adil merupakan negara yang kokoh; negara yang tidak adil adalah negara yang retak dan rapuh, bahkan tidak pantas diperjuangkan dan dipertahankan.

Mengembalikan negara ke rasa kebersamaan; negara yang sebenarnya adalah negara yang dirasakan sebagai milik bersama, bukan milik elite atau birokrasi. Itulah esensi awal Indonesia: bangsa yang dibangun dari semangat kolektif, bukan kepentingan individu. Konsep kebersamaan ini harus dihidupkan melalui partisipasi rakyat, transparansi kebijakan, dialog sosial, dan gotong royong. Ketika rakyat kembali merasa memiliki negara, mereka akan menjaganya. Negara tanpa rasa kepemilikan adalah negara yang kehilangan identitas rumahnya sendiri.

Mengapa harus segera kembali ke negara sebenarnya; Indonesia masih memiliki kesempatan untuk bangkit dan memperbaiki diri sebelum mencapai titik tidak kembali. Tanda-tanda keretakan sudah tampak, tetapi landasan moral, historis, dan kultural bangsa ini masih kuat. Dibutuhkan kesadaran kolektif bahwa negara yang sehat tidak akan lahir dari rutinitas birokrasi, tetapi dari keberanian moral untuk kembali pada nilai-nilai yang membuatnya utuh sebagai negara bangsa.

Kembali ke negara sebenarnya bukan slogan politis; menjadi proses perenungan nasional. Untuk jujur melihat kekeliruan, berani memperbaiki arah, dan rela menempatkan kepentingan negara bangsa di atas kepentingan pribadi. Hal ini bukan perjuangan satu kelompok atau satu generasi, tetapi perjuangan seluruh rakyat lintas generasi. Tentu belum terlambat untuk berubah, tetapi untuk pulih, harus terlebih dahulu berani bercermin: melihat luka yang telah menganga, mengakui kesalahan struktural dan kultural, serta menuntut negara kembali kepada dirinya yang sejati; negara yang melindungi rakyat, bukan negara yang diam ketika rakyatnya dirampok oleh sistem yang seharusnya melayani rakyat.

Refleksi ini sudah sering muncul, namun harus terus dihidupkan menjadi gerakan moral bersama dari kampus, sekolah, pesantren, gampong, kota, media, komunitas muda, LSM, hingga institusi negara. Maka Indonesia tidak hanya akan terhindar dari kehancuran, tetapi justru memasuki babak baru sebagai negara yang matang, adil, manusiawi, dan bermartabat. Itulah negara yang sebenarnya, itulah negara yang layak diperjuangkan kembali dan dipertahankan.

*Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unimal