Malam menutup Gampong Matang Seuke Pulot dengan kegelapan yang nyaris pekat sempurna. Setelah banjir besar mengoyak desa di Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, sunyi menjadi suara paling lantang. Lumpur masih mengeras di pinggir jalan, aroma basah belum menghilang, dan kehidupan seolah menahan napas. Di tengah suasana itu, sebuah perjalanan kecil tetapi penuh makna sedang berlangsung perjalanan solidaritas dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh Utara untuk seorang rekannya yang menjadi korban terparah.
Pada Selasa, 9 Desember 2025, sekitar pukul 15.00 WIB, Ketua PWI Aceh Utara, Abdul Halim, S.E., bersama Wakil Ketua, Jefry Tamara, berangkat dari Lhokseumawe. Misi mereka sederhana namun sarat makna, mengantar bantuan sembako kepada Jamaludin, anggota PWI yang rumahnya dihantam banjir setinggi tiga meter. Namun perjalanan kemanusiaan itu tidak berlangsung mulus.

Memasuki kawasan Samudera Geudong, kendaraan tua yang mereka kendarai sebuah Kijang Kapsul tiba-tiba mengalami masalah. Waktu yang semestinya cukup untuk sampai sebelum malam justru terbuang di sebuah bengkel kecil pinggir jalan. Setiap menit berlalu seperti tekanan baru. Hanya setelah lebih dari lima jam menunggu, pukul 20.15 WIB, mobil itu kembali menyala, seakan ikut bertekad menuntaskan misi malam itu.
Perjalanan berlanjut melintasi Kota Pantonlabu menuju pedesaan yang masih dipenuhi sisa lumpur. Jalanan sempit terasa asing, sunyi, dan gelap. Ketika mobil memasuki Gampong Matang Seuke Pulot sekitar pukul 22.00 WIB, suasana berubah drastis. Desa itu seolah terputus dari dunia. Tidak ada deru listrik, tidak ada cahaya rumah, hanya kegelapan total yang menyelimuti pemukiman dan posko pengungsian.
“Daerah itu seperti tak berpenghuni. Tapi bantuan tetap harus sampai, betapa pun sulit kondisinya,” ujar Abdul Halim.
Lampu depan mobil tua itu menjadi satu-satunya cahaya yang memecah gulita. Cahaya kuning yang goyah namun cukup untuk menghadirkan kelegaan. Dari arah rumah gelap yang nyaris tenggelam dalam malam, Jamaludin muncul dengan senter ponselnya. Langkahnya pelan, tubuhnya masih lelah setelah beberapa hari dihantam bencana.
Ia bercerita dengan suara yang sesekali bergetar. “Saat air naik pukul satu dini hari, kami hanya sempat menyelamatkan pakaian di badan. Selebihnya tenggelam.” Air setinggi tiga meter itu menghanyutkan harta benda, rasa aman, dan ketenangannya. Kini, setiap hujan membuatnya kembali was – was.
Di tepi jalan yang masih basah, sembako diserahkan. Tidak ada seremoni. Tidak ada cahaya kamera. Hanya percakapan singkat, kalimat penguatan, dan kehadiran yang tak tergantikan. Malam itu, lampu mobil tua bukan sekadar penerang jalan, tetapi simbol kehangatan sebuah komunitas yang enggan membiarkan anggotanya menghadapi luka sendirian.
Perjalanan kemanusiaan itu menegaskan bahwa solidaritas tak selalu datang dalam kilau sorotan. Kadang ia hadir lewat mobil tua yang bandel, perjalanan panjang yang melelahkan, dan secercah cahaya sederhana yang bersinar di tengah gulita. Di Matang Seuke Pulot, cahaya itu menjadi bukti bahwa sesama wartawan bisa menjadi keluarga bahkan ketika seluruh desa telah tenggelam dalam kegelapan.[]




