Banjir dan Tanah longsor Sumatra Tercatat 810 Orang Meninggal Dunia dan 612 Lainnya Masih Hilang

Affandi Tay

Bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali membuka luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Hingga 3 Desember 2025, BNPB mencatat 810 orang meninggal dunia dan 612 lainnya masih hilang. Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah wajah rasa kehilangan, keluarga yang hancur, dan masa depan yang runtuh bersama tanah yang terseret arus.

Di tengah besarnya korban, kita dipaksa menatap kenyataan pahit: bencana hidrometeorologi telah menjadi siklus tahunan yang tidak pernah benar-benar dikendalikan negara. Setiap tahun hujan deras datang, setiap tahun pula Sumatra jatuh pada pola yang sama—banjir besar, longsor, ribuan pengungsi, dan pemerintah yang selalu bekerja dalam mode darurat.

Baca juga :   Bupati Aceh Utara Laporkan Padamnya Jaringan ke Komdigi RI, Evakuasi Terganggu

Pertanyaannya sederhana, namun menyakitkan: sampai kapan kita akan terus gagap menghadapi bencana yang berulang?

Kerusakan hutan tutupan di Aceh, Sumut, dan Sumbar yang terus meningkat, termasuk belasan ribu hektare yang hilang tahun ini, jelas memperparah kondisi. Daerah aliran sungai (DAS) melemah, bukit-bukit gundul kehilangan daya tahan, dan air bah tidak lagi tertahan oleh akar-akar yang dahulu menjadi pelindung alamiah. Ini bukan hanya soal curah hujan ekstrem; ini adalah hasil dari kebijakan dan pengawasan yang gagal.

Pemerintah pusat dan daerah memang telah mengerahkan bantuan, namun fakta bahwa akses jalan terputus, komunikasi mati, dan evakuasi tersendat menunjukkan betapa lemahnya kesiapsiagaan di daerah rawan bencana. Kita terlalu sering menunggu bencana datang sebelum bergerak, padahal mitigasi semestinya menjadi pondasi utama, bukan reaksi belakangan.

Baca juga :   Abu Heri Salurkan Bantuan untuk Warga Trumon, Desak Pemerintah Tinggikan Jalan Nasional

Editorial ini menyerukan satu hal tegas: Sumatra tidak boleh terus menjadi kuburan massal akibat kelalaian jangka panjang. Pengawasan lingkungan harus diperkuat, tata ruang harus ditegakkan tanpa kompromi, dan anggaran mitigasi harus menjadi prioritas nyata, bukan formalitas tahunan.

Bencana mungkin tak bisa sepenuhnya dihindari, tetapi korban massal adalah kegagalan yang bisa dicegah.

Kita berutang kepada 810 jiwa yang telah pergi, dan kepada ratusan lainnya yang masih hilang, untuk memastikan tragedi ini tidak menjadi siklus yang terus berulang.