Setelah kita pelajari dan merasakan hidup dalam dunia politik kita semakin merasa bahwa begitu banyak teman-teman kita pada akhirnya tidak menemui jalan yang baik untuk hidupnya baik dalam kesejahteraannya maupun dalam ketenangan dan kebahagiaanya. Sebahagian besar mereka hanya mengumpulkan uang untuk hidup dimasa paripurna jabatannya atau bisa jadi untuk masa tuanya. Kesimpulannya tidak ada yang menanggung beban dalam membangun masa depan rakyat dalam hidupnya.
Carut marut dunia politik dalam negara sebenarnya bukan karena para politisi jahat terhadap rakyat, mengkhianati rakyat, menurut penulis para politisi juga pemimpin daerah tidak memahami membangun rakyat itu seperti apa. Meski banyak jabatan yang disandangnya, anggota DPR, Bupati, Gubernur dan sebagainya namun sesungguhnya mereka hanya sekedar mencari pekerjaan dan jabatan tersebut tidak ubahnya sebagai direktur pabrik kerupuk cengek dalam dunia industri yang hanya berguna untuk rakyat daerah dan melalaikan mereka dengan sebatas kerupuk cengek tersebut.
Kenapa pabrik kerupuk? Ini yang kita lihat rata-rata prilaku dan kemampuan kepala daerah dalam membangun rakyat dan melihat kapasitas beban dan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Apakah mereka pemimpin? Non sen, mereka adalah pejabat meskipun mereka dipilih rakyat, namun karena sumber daya manusia rakyat belum mampu dalam bernegara sehingga mereka yang berjabatan menjadi TUAN tempat rakyat meminta kerupuk cengek.
Masa sih mereka tidak memahami pembangunan masyarakatnya? Mari kita timpal dengan pertanyaan lain, bukankah kita juga pernah larut di jajah hampir empat abad oleh bangsa lain? Saat itu kakek dan nenek kita juga berangggapan bahwa mereka diberi jabatan dan gelar darah biru sebagai pemimpin rakyat dan merubah masa depan rakyat. Realitanya mereka larut dalam jajahan hingga hampir Empat Ratus Tahun dalam kebodohan suatu bangsa.
Apakah hari ini kita dijajah? Belum tentu tidak, tergantung dari posisi dan mentalitas presiden Republik Indonesia. Kalau presiden kita bodoh dan mentalitas inlanders ya pastilah bangsa ini dengan mudah dapat dijajah oleh bangsa lain baik dalam jalur kerjasama perdagangan dan jalur kerjasama politik.
Lalu kita lihat rakyat secara keseluruhan, sebenarnya seluruh rakyat Indonesia itu adalah rakyat daerah meskipun mereka berdomisili di DKI Jakarta yang Ibu Kota negara. Semua rakyat memiliki gubernur dan bupati serta Walikota masing-masing, karena itulah Rakyat Indonesia sesungguhnya masyarakat daerah yang kehidupan dalam pemerintahannya diatur oleh pemerintah daerah.
Karena itulah penulis menyebutnya kepala daerah tidak punya otak dan hati terhadap kehidupan masyarakatnya karena mereka sebahagian besar larut dalam mengadakan mobil mewah dan fasilitas mewah serta menghabiskan uang negara untuk kesenangan hidupnya, sementara rakyat hidup dalam kemelaratan dan menghadapi wabah penyakit corona.
Padahal jika saja mereka bermental pemimpin maka mereka seharusnya menseragamkan fasilitas daerah seperti mobil yang sederhana, jika perlu mereka cukup naik sepeda motor atau sepeda apalagi di daerah kota. Untuk apa kewibawaan mereka diperlihatkan dengan wibawa mobil mewah, rumah besar mewah yang berdampak pada pembodohan masyarakat dan hanya membangun kesenjangan dengan masyarakatnya.
Kemudian uang negara lebih banyak direncanakan untuk persiapan keuntungan bagi mereka yang memiliki peran dan peluang untuk yang mempergunakannya. Nah, hal tersebut dapat diselidik pada pikiran mereka yang punya jabatan termasuk anggota DPR seluruh tingkatan.
Akibat prilaku pejabat berkecenderungan demikian maka masyarakat setiap berjumpa dengan mereka sudah pasti meminta uang, karena imagenya bahwa uang negara ada pada kepala daerah. Apalagi melihat anak dan menantunya bermain dalam proyek-proyek pemerintah maka sempurnalah image TUAN pada Kepala Daerah yang seharusnya dalam hukum demokrasi mereka adalah pelayan rakyat.
Lalu, dalam kehidupan masyarakat daerah sesungguhnya apa yang terjadi? Pemiskinan, pemerasan, pembodohan, penundukan bahkan pembunuhan masyarakat dan pelemahan mentalitas sebagai warga masyarakat. Warga masyarakat yang pintar justru menjadi korban, warga masyarakat yang bisa menjilat diberi jabatan dan fasilitas agar mereka bisa mengatur dengan modal tersebut meski tanpa ilmu dalam manajemen sosial dan pemerintahan. Kesimpulannya apa? Masyarakat Indonesia tetap saja masih hidup dalam penjajahan bangsanya sendiri yang dilakukan oleh pemimpin pemerintahannya sendiri.
Apa ini berlebihan dan tendensius? Sama sekali tidak, karena selama pejabat masih terpisah dengan rakyat maka selama itu pula mereka masih menjajah. Sebaliknya jika mereka tidak sengaja berarti mereka memang para pejabat yang tidak memiliki kemampuan untuk merubah nasib masyarakatnya. Lalu masyarakat mengharapkan apa dalam kehidupan bermasyarakat? Is the Silaturrahmi Doang (SD).
Bagaimana seharusnya prilaku kepala daerah? Idealnya mereka membawa cara-cara baru dalam manajemen keuangan masyarakatnya yang lebih mudah dan cenderung ke modern. Lucu bila bupati, Walikota mencari uang dengan cara-cara tradisional misalnya membuka warung kopi disetiap sudut kota untuk mengumpulkan uang rakyat?
Membeli tanah di seluruh pelosok untuk memperlihat establish dan kekayaannya. Prilaku ini sungguh memalukan. Kemudian anak dan saudaranya hidup bermewah dengan jabatannya, bukan memberi ketauladanan dengan usaha yang produktif tidak bergantung dengan usaha yang berkembang akibat jabatan kepala daerah tersebut sebagaimana profesi kontraktor dan konsultan atau supplier pada pemerintah.
Fenomena ini masih sering kita saksikan pada keluarga kepala daerah dimana jika ayah, mertua atau abang dan kakaknya kepala daerah maka anak, mantu, menjadi herkuasa dalam mengatur paket pekerjaan dan biasanya mereka menjadi yang disegani dan ditakuni para profesional kaki lima di daerah tersebut.
Atau tidak langka kita temui para kepala daerah membuat ladang bisnis pribadinya dengan fasilitas negara. Sudah seharusnya kepala-kepala daerah lebih cerdas dalam mencari pendapatan pribadi dan keluarganya dengan cara-cara modernis finansing sehingga mereka dapat membawa contoh bagi rakyatnya sehingga warga masyarakat secara total tidak berkutat dalam bisnis tradisional, jual beli rumah, tanah, bangun kantor, jalan, jembatan dengan kontrak pemerintah, kemudian membuka kebun seluas-luasnya dan lain-lain dimana seharusnya usaha-usaha jenis tersebut menjadi lahan usaha rakyat biasa.
Berikutnya kekuasaan lain yang terburuk pada kepala daerah adalah membunuh karakter siapa saja yang dianggap musuh politiknya dengan mata kepala tradisional, bahkan mematikan lahan bisnis lawan politiknya dengan bermacam cara, dan mempermainkan orang-orang yang tidak disukainya, padahal mentalitas kepala daerah tidak bisa disamakan dengan pebisnis karena ia adalah penyinar masyarakat, memberi bimbingan kepada masyarakat juga dalam bidang usahanya, jangan sampai karena ia memimpin usaha pihak lain menjadi hambatan, justru tampil sebagai pimpinan daerah membawa seseorang ke atas Altar Pengujian mentalitas yang mempertaruhkan sikap, sifat serta prilakunya sebagai pimpinan rakyat.
Apakah penulis punya rasa dendam terhadap kepala daerah sehingga mengeluarkan bahasa tidak wajar? Jika bahasa yang santun tidak akan dibaca, dan memang fenomena yang kita saksikan selama ini begitulah sepantasnya bahasa yang layak ditujukan kepada mereka. Jika kepala daerah mentalitasnya normal sebagai pemimpin rakyat maka sudah pasti rakyat dapat diberdayakan dan kehidupan sosial sudah tumbuh secara baik sebagaimana kita ukur lahan yang harusnya ditanami bibit yang diadakan pemerintah maka seluruh lahan wilayahnya sudah penuh dengan bibit tersebut hingga dihalaman pendopo kepala daerahnya.
Demikian juga ternak bila dihitung pengadaan pemerintah maka di daerah tersebut penuh dengan binatang ternak rakyat bantuan pemerintah. Tetapi realitanya sungguh terbalik, karena itulah pemerintah yang benar dapat memanfaatkan uang daerah untuk kualitas pembangunan, pencerahan rakyat yang produktif dan mereka tidak lagi menggunakan cara-cara tradisional dengan sistem bantuan sporadis yang realitanya hingga hari ini pembangunan masyarakat disuatu daerah tidak pernah berhasil dan berjalan lancar.
Maka masyarakat Indonesia melalui kepemimpinan kepala daerahnya dapat disebut gagal total menjadi rakyat negara berkembang dan maju sebagaimana bangsa lain yang lebih cepat menata dan membangun sistem hidupnya yang lebih baik dan lebih cepat pula.
Kenapa kepala daerah tak gunakan otak? Karena merekalah yang seharusnya berjalan di depan dan membawa masyarakatnya menuju ke tahap kesejahteraannya. Jika mereka gunakan otak tentu setiap daerah akan ada semacam kompetisi positif rakyat untuk formulasi bangunan kesejahteraannya.
Kenapa mereka tidak pakai hati? Tentu saja karena melakukan pembiaran hidup masyarakat dalam kemelaratannya yang merupakan tanggung jawabnya. Inti dari tanggung jawabnya sebagai pimpinan pemerintah tidak perlu cerdas memahaminya.
Cukup mengetahui fakir miskin dan anak terlantar merupakan tanggung negara. Kalau landasannya atau backgroundnya coba bayangkan jika masyarakatnya semua fakir miskin dan anak terlantar maka negara ini adalah untuk mereka, hak keluarga kepala daerah justru berada diurutan terakhir karena dia sebagai pemimpinnya yang bertugas membangun masyarakat tersebut. Hal itu adalah logika jika mereka tidak mengedepankan bisnis atas kondisi kehidupan masyarakatnya.[]
Ikuti notula.news di Google Berita untuk update informasi lebih mudah dan nyaman. Klik di sini